But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

MAS MENTERI, INTERNET ITU LEBIH BANYAK MANFAAT DARIPADA MUDHARAT…

with 7 comments

Saya pakai kata “Mas”, karena ingin tetap menghormati yang lebih tua, tapi tak mau memanggil “Pak” karena kuatir terjebak dalam penghormatan tradisional-feodalistik yang tak perlu terhadap jabatan. Namun, kalau kita percaya pada sebuah berita BBC, agaknya jelas bahwa Tifatul Sembiring, Mas Menteri Komunikasi dan Informasi memang seorang yang berpandangan tradisional.

Dalam berita itu, Tifatul menyampaikan khutbah Jumat di Padang, Sumatera, yang tahun lalu diguncang gempa dengan korban sekitar 1000 orang tewas, bahwa serangkaian bencana yang menimpa Indonesia adalah karena perilaku tak bermoral masyarakat Indonesia. Ia menyebutkan banyaknya tayangan televisi di Indonesia yang “menghancurkan moral”. Berita itu tak merinci tayangan apa saja, mungkin karena logika dasar pernyataan tersebut sudah menggambarkan tradisionalisme Mas Menteri yang tak pada tempatnya.

Ah, saya harus hati-hati menggunakan kata “tradisionalisme”. Bukannya saya tak menghormati tradisi atau pandangan-pandangan tradisional. Hanya, saya kira kita seringkali meremehkan tradisi dengan segala kearifannya, dan menganggap bahwa kearifan tradisional itu mengizinkan penalaran-penalaran simplistik dalam memandang alam dan kehidupan manusia. Menganggap ada sebab langsung antara siaran TV dan gempa, bahkan setengah “mengancam” bahwa bencana tak akan hilang selama masyarakat tak bermoral, sebetulnya masuk jenis penalaran gegabah menurut kaca mata rasionalisme modern, maupun menurut kaca mata kearifan tradisional.

Artinya, saya menggunakan kata “tradisionalisme” dalam ucapan Tifatul itu secara ironis. Di sini kita lihat, seorang menteri yang menyampaikan khutbah Jumat –sebuah tanda bahwa sang menteri itu berlatar lembaga tradisional (agama, khutbah) – sedang menyalahkan sebuah artefak modern (televisi) sebagai biang keladi gempa dan bencana-bencana alam lainnya. Ini adalah sebuah “tradisionalisme” minus “kearifan tradisional”.

Dan celakanya, Tifatul adalah Menteri Komunikasi dan Informasi. Ini jabatan penting, dengan amanat mengurusi sebuah bidang yang boleh dibilang esensial dalam kehidupan manusia kiwari. Ini adalah jabatan yang harus berhadapan dengan pelik-pelik persoalan terkait dengan, antara lain, Web 2.0, Microsoft dan Apple, Google, Facebook, Twitter, Black Berry, Film Digital, satelit komunikasi, televisi berjaringan, siaran lokal dan global, dengan segala konsekuesi kultural-sosial-ekonomi mereka.

Dalam konteks cara penalaran “bencana adalah akibat perilaku amoral” itu, herankah kita jika lantas respon Tifatul menghadapi berbagai kepelikan itu dengan mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Konten Multimedia?

*

Semangat dasar RPM ini memang sebuah kecemasan moral. Hal ini tampak bukan terutama pada isi rancangan peraturannya, tapi fakta bahwa kehadiran peraturan semacam ini dirasa perlu oleh Menteri, sementara sudah  ada sederet Undang-undang yang mengatur media di Indonesia, antara lain: KUHAP, UU Perfilman, UU Penyiaran, UU Pers, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU Pornografi.

Walau jadi konsideran dalam RPM Konten Multimedia ini, sederet UU dan pengaturan itu rupanya dianggap tak cukup oleh Mas Menteri, sehingga ia merasa perlu membuat peraturan menteri untuk mengawasi konten multimedia lebih jauh, dengan cara pembentukan sebuah Tim Konten Multimedia yang terdiri dari sebanyaknya 30 orang yang dipilih menteri. Mengapa tak cukup? Karena moda kecemasan moral selalu menekankan kapasitas manusia untuk “menyimpang” dan “melanggar” aturan entah dari “Tuhan” atau “keelokan”. Moda kecemasan moral memandang manusia harus dibatasi seketat mungkin, demi kebaikan mereka sendiri.

Dalam moda ini, makin banyak dan makin spesifik aturan moralistik mengikat manusia, makin bagus. Moda ini tak memercayai kapasitas manusia untuk mencapai kebajikan dan kearifan melalui kapasitas kreatif mereka. Moda kecemasan moral juga ditandai oleh kecenderungan merapikan dan menertibkan tafsir atas sesuatu, sesuai “pihak berwenang” (kata lain, dalam hal ini, untuk “penguasa”). Apa pun yang dianggap meresahkan atau melanggar aturan yang dianut pemangku kuasa moral, kuasa politis, atau kuasa mayoritas (yang sering mengatasnamakan “kenormalan”) akan dianggap perlu ditertibkan dan kalau perlu diberi sangsi hukum.

Moda ini tampak jelas dalam desain RPM Konten Multimedia (isinya bisa dibaca di sini). Tekanan utamanya adalah pada penertiban “konten terlarang”, bukan pada hal-hal positif yang harus didorong dalam perkembangan mutakhir teknologi informasi/multimedia. Dan lingkup “konten terlarang” menurut RPM Konten Multimedia itu, praktis, adalah hal-hal yang selama ini memang kontroversial karena terlalu sering jadi pasal karet yang dipakai penguasa untuk mementung rakyat yang dianggap “mengganggu”.

Misalnya, pasal 3.b yang melarang konten “melanggar kesusilaan” dan pasal 6.b tentang larangan muatan SARA (sebuah pasal ampuh masa Orde Baru untuk, misalnya, melarang buku-buku Pramoedya dan ekspresi-ekspresi politik yang kritis terhadap ketimpangan sosial-ekonomi masa itu).

Perhatikan juga pasal 5 menyebutkan: “Penyelenggara dilarang mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang mengandung muatan mengenai tindakan yang merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, dan aspek fisik maupun non fisik lain dari suatu pihak.” Wah, “merendahkan” …“pelayanan”? Bukankah pasal semacam ini bakal mengulang lagi kasus yang menimpa Ibu Prita? Seolah komplain adalah sesuatu yang terlarang?

*

Dalam semangatnya untuk memberi batasan-batasan moralistik terhadap konten multimedia, RPM Konten Multimedia ini jatuh jadi sebuah desain peraturan yang tak realistik. Onno W. Purba, pakar teknologi informasi dari ITB, sangat jitu ketika dengan segera ia menyoroti bahwa rancangan ini terlalu membebani Penyelenggara dan bukan Pengguna.

Kritik Onno itu menampakkan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sebuah pengabaian akan beban tanggungjawab pada Pengguna multimedia. Jika kita menelusuri asumsi di balik logika Mas Menteri, kita bisa membaca ada semacam sikap dasar yang mencemaskan medium itu sendiri. Bahwa ketika sebuah medium, seperti internet, mengandung mudharat seperti adanya praktik-praktik pornografi atau penghinaan pada Nabi/agama tertentu, maka medium itulah yang memang mengandung potensi “perusakan” dan karenanya harus dikendalikan.

Kelihatan sekali, Mas Menteri rupanya bukan pengguna aktif multimedia atau bukan seorang yang menyadari sepenuhnya potensi dan peran multimedia di masa kini. Juga betapa Mas Menteri tak ngeh pelik-pelik medium ini sekarang. Itulah mengapa Onno mengusulkan agar Mas Menteri terjun langsung ke dunia internet yang sedang aktif. “Anda harus lebih aktif berinteraksi dengan masyarakat – jangan cuma menunggu di kantor akan masukan dari masyarakat atau mengundang wakil masyarakat saja. Postel dan Kominfo harus masuk ke Kaskus.us, Facebook.com berinteraksi langsung dan meyakinkan mereka. Jangan cuma pasif!” tegas Onno di Detik.com.

Bagaimana, coba, mau mengatur Penyelanggara? Apakah kalau Joko Anwar memasang foto telanjangnya di Circle K di Twitter, lantas Twitter.com yang harus diproses oleh Tim Konten Kominfo? Dan bagaimana memastikan bahwa para pengguna harus menggunakan identitas asli mereka di internet? Kalaupun semua itu bisa dilakukan, maka upayanya bakal menyita terlalu banyak dana dan tenaga untuk hasil yang tak terlalu banyak.

Lagi pula, desain RPM Konten Multimedia ini hanya menegaskan hak Pemerintah jika dirasa perlu untuk mengambil data-data otentik Pengguna, tanpa menyebut kewajiban Negara menjaga privasi Pengguna. Klausul semacam ini terlalu rentan disalahgunakan oleh Kekuasaan.

*

Betul, banyak masalah baru melekat dalam dunia multimedia mutakhir. Kadang, masalah-masalah itu sungguh mengerikan. Misalnya, menguatnya jaringan pedofilia dan trafficking anak untuk eksploitasi seksual. Industri pornografi sesudah era internet juga semakin mengukuh, dan menakutkan. Itulah mengapa saya termasuk yang mendukung, misalnya, UU Pornografi. Saya melihat, regulasi dan penegakan hukum dalam soal ini memang harus dilaksanakan.

Tapi, saya juga pada dasarnya percaya pada kemerdekaan media sebagai hal esensial dalam membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Langkah Mas Menteri ini memberi sinyal yang buruk pada perkembangan media kita. Bukannya mendorong agar lebih maju, Mas Menteri rupanya lebih suka menghambat gerak-gerik media dan medium komunikasi mutakhir. Tak tampak Mas Menteri menimbang-nimbang dengan seksama, hati-hati, dan penuh keahlian, antara manfaat dan mudharat multimedia.

Soal manfaat dan mudharat multimedia, ada sebuah cerita menarik. Seorang tukang becak di Jogjakarta, menulis artikel di Kompas.com. Isinya, pengalaman ia berkenalan dengan internet dan bagaimana ia kini jadi pengguna internet yang aktif.

Perhatikan pengakuannya, betapa ia awalnya memang mengonsumsi juga pornografi. Toh, pada akhirnya, ia lebih condong memetik manfaat dari internet dengan memanfaatkannya bagi perkembangan layanan jasa ngebecak bagi dirinya dan kawan-kawannya di Jogja. Ada mudharat internet, tapi manfaatnya lebih besar lagi.

*

Saya percaya bahwa perilaku manusia bisa membawa kerusakan di muka bumi ini. Yang saya maksud adalah, salah satunya, pola konsumsi eksesif dan eksploitasi sumber daya yang bersifat massif dan sistemik, akan memengaruhi keseimbangan alam: konsumsi eksesif atas mobil, fast food, gaya hidup serbaberlimpah, CFC, dan sebagainya. Pemanasan global adalah sebuah gejala alam yang tekait langsung dengan gaya hidup kita sebagai manusia modern.

Saya juga percaya bahwa banyak sekali siaran televisi kita, atau konten media elektronik kita, yang memang dungu, nyampah, dan tak bermoral. Tapi, tak sedikit pun saya percaya, bahwa konten media tersebut menyebabkan gempa, tsunami, letusan gunung berapi, apalagi sampai berkepanjangan dan tiada habis selama siaran-siaran itu ada.

Oh, ya, saya juga percaya pada sebuah ungkapan yang sering dinisbatkan sebagai hadis Nabi SAW: jika urusan umat diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tinggal tunggu saja kehancuran umat itu.

Jika seorang pejabat bukanlah seorang ahli di bidangnya, dan tak mau meningkatkan kapasitas dirinya, maka bisa jadi ia akan sibuk menghasilkan langkah-langkah yang menghambat sebuah bangsa di saat bangsa lain sedang melesat maju.***

Written by hikmatdarmawan

February 15, 2010 at 4:24 am

7 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. What is the best way to use Web 2.0 to make money online?

    Jim

    February 15, 2010 at 1:40 pm

  2. Social comments and analytics for this post…

    This post was mentioned on Twitter by lifejoy: RT @ummagina: Menkominfo @tifsembiring perlu baca ini: http://tinyurl.com/yb7x5dw Tulisan kawan saya, Hikmat Darmawan, ttg #TOLAKRPMKonten…

    uberVU - social comments

    February 15, 2010 at 11:19 pm

  3. Wow!!bener2 tulisan yang sangat berbobot..
    Salut dengan mas hikmat..

    andrio

    February 15, 2010 at 11:34 pm

  4. Saya sedikit khawatir dengan penggunaan kata asusila ini, terutama kaitannya dengan PKS yang selama ini memiliki definisi asusila yang sedikit berbeda dengan ormas islam kebanyakan.

    Misalnya jaipongan, koteka yang terang-terang merupakan budaya tapi dibilang tindakan asusila(pornoaksi). Jadi bilamana saya meletakkan gambar orang menggunakan koteka, apakah itu melanggar kesusilaan? Kalau menurut PKS dan FPI pasti saya langsung dirajam dan dicap khafir. Ironis.

    sigit

    February 16, 2010 at 12:12 am

  5. […] ‘memurnikan’ internet nan majemuk. Penulis, serta editor majalah Madina dan situs RumahFilm Hikmat Darmawan, dalam blog pribadinya, mencoba menarik hubungan antara latar belakang Tifatul dan pendekatan […]

  6. “Dalam konteks cara penalaran “bencana adalah akibat perilaku amoral” itu, herankah kita jika lantas respon Tifatul menghadapi berbagai kepelikan itu dengan mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Konten Multimedia?”

    RPM itu kan udah dibikin sejak 2006 bukan? bukan baru baru ini.

    noname

    February 21, 2010 at 9:27 pm

  7. Merujuk kembali ke sabda Nabi “..jika urusan umat diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tinggal tunggu saja kehancuran umat itu..” –bukan semata2 karena saya ini muslim, akan tetapi agaknya itulah yg selalu dilakukan seseorang yg professional.

    Hampir 2,5 tahun saya di NL, agaknya semua urusan pasti diserahkan kepada ahlinya. Jarang sekali dijumpai orang yg menyelesaikan sesuatu yg bukan keahliannya. Para prof./pendidik di universitas disini sepertinya menjadi tolok ukur pemerintah dalam melaksanakan proyek2, agar sesuai standardnya, safety, dan tepat waktu serta budget. Kalaupun melewati deadline, harus ditekan seminim mungkin.

    Saya pernah baca, mayornya Amasterdam dahulu adalah seorang Professor dari Leiden Univ. Mungkin beliau udah nggak mikir jabatan politik, karena karir dimulai dari dunia pendidikan–meskipun ini juga bukan jaminan. At least beliau adalah orang yg berpendidikan tinggi dan mempunyai wawasan luas, sehingga nggak cuman mikir jabatan politik thok.. –http://en.wikipedia.org/wiki/Job_Cohen

    Di NL bahkan tiap malam ada siaran XXX. Tapi itu semua diatur sesuai jamnya, hanya diputar jam malam, bahkan redlight district di Amsterdam pun bebas dikunjungi (even saya yg berjilbab ini juga liat2). So what? Apakah saya mau masuk, mau liat2 aja? ya terserah saya, wong disitu campur baur dengan tempat wisata yg lain–misal House of Anne Frank, China Town yg emang deket2 sm RL district.

    Indonesia semoga bisa lebih professional lagiii.. Menterinya diganti ajaa!!!

    irma

    March 11, 2011 at 6:38 am


Leave a comment