But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

Archive for July 15th, 2012

CENDEKIAWAN, NEGARA, DAN RUANG KEBANGSAAN BARU

with 2 comments

Iwan Fals: sebuah model cendekiawan?

Daftar tokoh intelektual muda yang disusun Kompas pada 20 Juni 2007 lalu memang menarik. Sayangnya, daftar itu masih bersifat myopic dan mengandung asumsi-asumsi yang tak lagi realistis dalam kenyataan hidup bangsa saat ini.

Dalam daftar di halaman 5 Kompas edisi tersebut, terdapat tabel berisi 45 nama yang ditabal sebagai “pemikir” dan “tokoh muda”. Rentang usia: 28 (Ahmad Fuad Fanani) hingga 44 tahun (Sukardi Rinakit dan Denny JA). Banyak latar “konsentrasi pemikiran dan komunitas” seperti tersebut dalam tajuk tabel itu. Memang, tabel itu menyelamatkan diri dengan menyisipkan kata “beberapa” sebelum kata “tokoh muda”. Toh jika disimpulkan, semuanya bergerak dan menulis seputar soal politik dalam berbagai variannya.

Dalam tulisan penjelas tabel, Menanti Lagi Kiprah Kaum Muda oleh Toto Suryaningtyas, jelaslah sikap dasar penyusunan daftar itu. Pertama, di paragraf awal tertulis: “Saat rezim lama hancur, saat pintu reformasi terbuka, kaum muda tak juga beranjak meraih kekuasaan.” Terungkap harapan bahwa Reformasi 1998 menjadi pintu bagi lahirnya tokoh politik berkaliber nasional dari kalangan Cendekiawan muda. Hal ini dikuatkan oleh penyebutan laporan jajak pendapat Litbang Kompas yang mengungkap belum ada tokoh (muda) yang pamornya sejajar dengan Susilo Bambang Yudhoyono atau Megawati Soekarnoputri.

Baiklah kita abaikan bahwa nyatanya, saat ini banyak tokoh politik muda –sebagian dari kalangan cendikia, dalam arti kaum teknokrat atau mantan aktivis mahasiswa masa Reformasi 1998– yang berkiprah di lembaga-lembaga politik negara, baik nasional mau pun daerah. Kita bisa terima bahwa belum ada tokoh politik kaliber nasional dari kalangan muda. Sederhananya, belum ada sosok negarawan dari kalangan itu. Tapi, apakah itu satu-satunya ukuran bagi ketokohan seorang pemikir?

Ini menyangkut sikap dasar kedua dari Toto, bahwa wilayah gagasan yang masuk hitungan hanyalah yang berpaut-sangkut dengan isu-isu politik: relasi agama-negara, HAM, hukum, ekonomi, militer, demokrasi, dan semacamnya. Ironis, bahwa tulisan yang dibuka dengan mengutip puisi seorang penyair justru sama sekali mengabaikan tokoh-tokoh di bidang sastra, seni, budaya, dan semacamnya. Belum lagi bidang lain yang esensial dalam membangun peradaban: sains, teknologi, dan teknologi informasi.

Mengapa, misalnya, tak disebut tokoh sastra macam Ayu Utami, Nirwan Dewanto, Helvy Tiana Rossa, Dorothea Rossa Herliany, atau anak-anak muda di bawah naungan AKY di Yogya? Atau tokoh-tokoh budaya macam Radhar Panca Dahana, Sutanto Mendut, Taufik Rahzen, Hawe Setiawan, para pemikir Punk di Bandung, atau anak-anak muda di kelompok Studi Kebudayaan KUNCI? Atau tokoh-tokoh seni macam Ade Darmawan, Bambang Toko dari Yogyakarta, anak-anak muda kelompok MFI (Masyarakat Film Indonesia) dan non-MFI, Indra Lesmana dan Dwiki Dharmawan, atau banyak aktivis teater, musik, budaya pop di berbagai kota kita?

Negara, Masihkah Jadi Pusat?

Ketakmunculan yang mencolok itu tersebab perumusan masalah yang masih menempatkan Negara sebagai Pusat. Isu-isu politik yang diperhitungkan Toto adalah yang memiliki relasi dengan Negara. Dari sudut perumusan itu, tulisan Toto bisa dibenarkan: terjadi kemandekan di kalangan muda generasi Reformasi.

Padahal persoalan yang mendasar dalam kenyataan kebangsaan kita sekarang ini adalah: relevansi Negara, secara diskursif maupun dalam praktik, mulai dipertanyakan, bahkan direlatifkan. Apatisme? Mungkin. Apakah ini hal yang negatif? Tunggu dulu. Lebih tepat jika dikatakan, inilah semangat zaman. Sejak 1990-an, telah hadir di kalangan Cendekiawan muda Indonesia berbagai perdebatan, gugatan, terhadap keberadaan Negara.

Lebih penting lagi, dalam praktik, Negara telah lama direlatifkan. Studi Alison J. Murray, misalnya, tentang masyarakat kumuh di Manggarai dan Tebet, menemukan bahwa masyarakat kelas bawah memberlakukan Negara (segala kode moral yang ditetapkannya, segala aturan birokratisnya) sebagai sebuah simulacra –semacam realitas virtual. Masyarakat kumuh itu sendiri, mencipta kode-kode sosial mereka sendiri, aturan-aturan main sendiri, yang menyempal dari aturan-aturan Negara.

Kasus paling nyata adalah: sistem ekonomi informal yang jadi tumpuan hidup masyarakat kelas bawah (hingga menengah, sebetulnya). Walau tak masuk sistem ekonomi resmi, ekonomi informal adalah kenyataan yang relevan bagi masyarakat lapis bawah itu. Murray menyebut praktik semacam ini sebagai “anarkisme” –dalam arti, penciptaan kode-kode sosial dan struktur alternatif oleh masyarakat sendiri, menggantikan kode-kode dan struktur resmi yang sesuai dengan kenyataan keseharian masyarakat.

Di lapis menengah masyarakat kita, hal serupa terjadi. Walau bisa kita akui bahwa Kelas Menengah di Indonesia masihlah lemah, tapi apa yang disebut Hans Dieter-Evers sebagai Kelompok-kelompok Strategis hidup cukup kuat. Nah, para anggota Kelompok Strategis ini membangun dunia mereka sendiri, yang cenderung abai terhadap peran Negara dalam hidup mereka.

Kiprah sosial mereka adalah di dalam komunitas-komunitas spesifik; dan, pada tahap selanjutnya, dalam jejaring antarkomunitas tersebut. Tools atau perangkat utama mereka adalah teknologi informasi: sejak internet, radio komunitas, hingga penerbitan alternatif fotokopian. Jika kita selami barang sejenak pemikiran-pemikiran di dunia –yang didominasi kaum muda– ini, terekam kesangsian terhadap makna positif Negara.

Pada sebagian, ambisi-ambisi pribadi maupun sosial mereka melintas batas-batas Negara. Bekerja sebagai programmer untuk perusahaan manca negara; jadi colorist di penerbit komik Amerika; terlibat dalam gerakan seni di dunia ketiga; atau aktif di gerakan-gerakan antikapitalisme atau gerakan lingkungan hidup internasional. Berkat internet, mereka bisa bekerja di rumah mereka di pelosok Jawa, misalnya. Mereka punya tokoh-tokoh mereka sendiri, punya opinion leader, para avatar yang mereka dengar ketimbang para aparatur Negara dan para Cendekiawan Negara yang menguasai ruang (wacana) publik.

Memang ada sebagian yang mengembangkan anarkisme terhadap Negara dengan impian untuk membangun Negara baru. Gerakan komunis (dalam bentuk terkininya) dan gerakan kaum fundamentalis agama sama saja dalam hal ini. Bagaimana pun, yang masih memimpikan Negara maupun yang sudah tak, mereka tak menerima begitu saja Negara apa adanya. Mereka lebih tertarik merelatifkan Negara, ketimbang ikut serta dalam lembaga-lembaga kenegaraan.

Cendekiawan yang Bukan-Pemain

Dengan tak lagi menjadikan Negara sebagai Pusat, maka harapan kita terhadap kaum Cendekiawan pun jadi lain. Bahkan, tolok ukur kita pun jadi lain. Ke-Cendekiawan-an kemudian diukur dari kemandiriannya terhadap Negara dan segala perpanjangannya. Termasuk dalam perpanjangan Negara, adalah segala perlawanan terhadap Negara yang hanya sebatas perlawanan terhadap rezim, tapi sama sekali tak kritis terhadap ide dan praksis Negara itu sendiri. (Atau mengajukan ide Negara yang lebih buruk dari yang ada.)

Ruang alternatif berkebangsaan bagi kaum Cendekiawan adalah dengan menjadi Bukan-Pemain (non-player). Saya pinjam di sini istilah dari Ashis Nandy, oleh sebagian pengamat dianggap “bapak” Studi Kebudayaan Asia Selatan, tanpa mengambil seluruh pengertiannya. Menurut Nandy, “Bukan-Pemain” terkait dengan perlawanan terhadap hegemoni kolonial, khususnya Barat, dalam kehidupan di negeri-negeri bekas jajahan. Dalam melawan hegemoni, Cendekiawan dipaksa pada memilih: kekerasan atau pasivisme. Ada jalan ketiga, kata Nandy: menjadi Bukan-Pemain.

Seorang Cendekiawan Bukan-Pemain bermain di medan yang sama dengan Pemain, tapi hakikatnya menciptakan permainannya sendiri. Dalam pemaknaan saya, dikaitkan dengan relasi Cendekiawan-Negara, sang Cendekiawan menjalin relasi itu dengan sadar, justru dengan tujuan melucuti peran dan fungsi Negara yang telah terlalu mutlak dan hegemonik. Ia lebih tertarik menguatkan bangsa dengan melemahkan Negara. Ia bermain di medan jejaring komunitas, ide, relasi politik, yang tak lagi dikurung batas-batas Negara.

Tujuan utama menjadi Bukan-Pemain di sini adalah melucuti peran Negara dengan menguatkan masyarakat. Seringkali perlawanan terhadap Negara yang mengambil bentuk pengabaian Negara melupakan fakta keras bahwa Negara dapat hidup untuk dirinya sendiri. Negara diabaikan, tapi juga dibiarkan berjalan dengan korupsi-korupsinya. Jebakan lain, kehendak menihilkan Negara, tanpa solusi apapun. Dengan kata lain, melembagakan anarkisme ke aras kebangsaan. Impian nihilistik atas Negara ini terlalu utopis untuk dapat jadi gerakan yang serius.

Cendekiawan Bukan-Pemain bermain di alam nyata, terlibat dalam persoalan-persoalan khas mau pun global. Ia cenderung tidak nyantol pada lembaga-lembaga kenegaraan dan segala trickledown effect-nya. Kadang, ia pragmatis dalam berhubungan dengan Negara, tapi secara mendasar ia tak percaya, skeptis, terhadap Negara. Ia percaya, satu-satunya peran ideal bagi Negara adalah menjadi Pelayan Rakyat. Artinya, ia percaya, rakyat/masyarakat harus lebih kuat daripada Negara.

Ia mungkin salah satu dari yang ada di daftar Kompas itu, mungkin juga tidak. Tak penting benar ia jadi tokoh atau tidak. Ia ada di sekitar kita. Asalkan pandangan kita tak dirabunkan oleh Negara.***

(2007)

Written by hikmatdarmawan

July 15, 2012 at 1:12 pm

Posted in Ide, Rupa-rupa

Tagged with , , ,