But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

MENCARI CERITA, MENCARI BANGSA, MENCARI CINTA (3)

leave a comment »

(Bagian ketiga dari repost Orasi Budaya saya di panggung Eksotika Karmawibhangga, sebagai hadiah kecil saya untuk teman-teman PLOTPOINT yang sedang mencanang motto: Kita Bercerita. Apa Ceritamu?)

Sapardi Djoko Damono (diambil dari cabiklunik.com)

Sapardi Djoko Damono (diambil dari cabiklunik.com)

 

3

Saudara-saudara,

Bung Karno adalah pendongeng yang hebat. Ia mendongengkan bangsa dan banyak orang terpukau dan tergerak. Ia mendongengkan kisah bahwa ia bertemu seorang petani yang baginya menggambarkan sosok “orang Indonesia” yang sesungguhnya, lalu ia bertanya siapa nama petani itu, dan dalam dongeng itu sang petani mengaku bernama Marhaen, dan lahirlah sebuah ajaran yang diikuti secara fanatik oleh para pengikut Bung Karno, bernama ajaran Marhaenisme. Ia juga mendongengkan jembatan emas yang dibangun oleh Ibn Saud dalam semalam dan oleh Lenin di sebuah negara raksasa bernama Rusia. Ia berhasil menggerakkan orang untuk membangun jembatan itu. Jembatan emas, katanya, jembatan emas kemerdekaan.

Kita adalah generasi yang lahir di seberang jembatan itu. Kita membutuhkan cerita baru. Walau kita, secara fardhu kifayah, masih harus mempelajari Pustaka Raja Purwa, misalnya, tapi kita harus menuliskan babad kita sendiri. Karena segala pengalaman kita hidup dengan tiran demi tiran, tiran besar dan tiran kecil, tiran lokal maupun tiran nasional, mungkin babad yang akan lahir dari generasi kita adalah Pustaka Tiran Purwa.

Kita perlu cerita baru. Kita perlu cermin baru, yang dapat membuat kita mengaca diri, mematut diri, tanpa melenceng dari apa adanya kita. Saya mencari cerita karena ingin mencari bangsa.

 

4

Saudara-saudara, untuk apakah kita berbangsa?

Buat saya, bangsa tercipta agar kita dapat saling mencintai sesama manusia. Bangsa-bangsa tercipta agar kita dapat mencintai orang lain, orang-orang di luar wilayah hidup kita sehari-hari, orang-orang asing. Bangsa-bangsa tercipta agar tak ada lagi orang asing, yang ada hanyalah orang yang berbeda, dan kita bisa mencintai keberbedaan itu. Seperti Al Qur’an bilang, diciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbeda-beda bahasa, agar saling mengenal.

Agar saling mengenal.

Ingatkah Anda ketika pertamakali mengenal kekasih Anda? Mungkin saja mulanya semua terasa biasa saja. Seorang asing yang biasa-biasa saja, tak penting. Tapi ada sesuatu yang membuat si orang asing itu mendekam dalam kenangan, menjadi istimewa bersama waktu. Lalu Anda berjumpa kembali dengannya, barangkali tak sengaja. Tapi perjumpaan kedua terasa lebih istimewa. Anda mulai memerhatikan hal-hal kecil tapi menonjol pada dirinya. Tawanya. Kecepatannya menangkap dan membalikkan bola gurauan Anda. Kecerdasannya. Gerak-gerik tangannya yang kadang seperti anak kecil. Anda mulai tertarik. Ketika Anda berpisah dengannya, Anda mulai merasakan sebuah kehilangan kecil, kehilangan yang mudah saja obatnya: Anda meneleponnya, berbicara berlama-lama dengannya. Perjumpaan-perjumpaan selanjutnya terjadi karena Anda menginginkannya. Semakin banyak dari dirinya yang terungkap pada Anda, sebagaimana Anda juga mengungkapkan diri Anda semakin banyak kepadanya. Kalian menjadi lebih saling mengenal. Anda tahu mimpi-mimpinya, kesukaan-kesukaannya, pikiran-pikiran terdalamnya, kecemasan-kecemasannya, juga keburukan-keburukannya. Sebagaimana ia Anda biarkan menyelami mimpi-mimpi Anda, kesukaan-kesukaan Anda, pikiran-pikiran terdalam Anda, kecemasan-kecemasan Anda, juga keburukan-keburukan Anda. Tanpa sadar Anda telah mencintainya. Tanpa sadar Anda semakin tak bisa kehilangan dirinya. Tanpa sadar, entah mulai kapan dan di mana, Anda tak lagi satu dan utuh, tapi tinggal separuh, dan separuh lain dari Anda adalah dirinya, sang kekasih. Anda mencintainya, dan karena itu Anda menjadi lebih dari sekedar diri Anda biasanya. Anda menjadi transenden.

Saling mengenal adalah sesuatu yang indah, sebuah paradoks yang indah. Orang-orang tak mungkin saling mengenal, dan kemudian saling jatuh cinta, jika orang-orang tidak saling berbeda. Tanpa keberbedaan, tak mungkin kita ingin saling mengenal. Justru karena keberbedaan, kita bisa saling mengenal dan berkata, eh, ternyata di balik keberbedaan, kita sama juga. Lalu kita saling jatuh cinta. Tentu saja mencintai kekasih berbeda dengan mencintai orang lain dalam naungan kubah makna bernama bangsa, tapi semua itu cinta juga, sesuatu yang bermula dari keinginan saling mengenal dan saling menerima, sesuatu yang menjadi mungkin karena adanya keberbedaan.

Saling mengenal adalah sesuatu yang indah, karena begitu banyak kemungkinan yang indah terbuka ketika dua orang asing menjadi saling mengenal. Rumi berkenalan dengan seorang asing bernama Syams dari Tabriz, dan hidupnya berubah selamanya: ia jadi sufi pencinta yang dengan berani membayangkan Tuhan bukan sebagai Maha Penguasa atau Maha Pembalas, melainkan sebagai Maha Keindahan. Kita tak pernah tahu orang asing manakah yang begitu kita sambut kehadirannya, kita simak pikiran-pikirannya yang sekilas mungkin tampak aneh dan berbahaya, ternyata akan mengubah persepsi kita akan dunia.

Muhammad Assad terpikat oleh kesederhanaan berpikir seorang Beduin tua dalam sebuah gerbong kereta yang melintasi tanah Arabia. Orang Beduin tua yang sama sekali asing itu, yang sama sekali tak mengerti bahasa Assad atau bahasa apapun di luar bahasanya sendiri, menawarkan separuh roti miliknya kepada Assad. Ketika Assad heran kenapa sang Beduin tua mau membagi separuh bekalnya, lewat bahasa isyarat sang Beduin tua menyampaikan pikirannya, yang kira-kira adalah, bukankah kita sedang berada di gerbong yang sama, dalam perjalanan yang sama? Maka apa yang mesti diherani kalau saya berbagi separuh roti saya? Berbangsa galibnya adalah demikian: berada dalam gerbong yang sama, kereta yang sama, dalam suatu perjalanan yang sama. Bahasa, motif, mimpi, pikiran yang berkecamuk serta tujuan akhir masing-masing orang dalam gerbong dan perjalanan yang sama itu pastilah berbeda-beda; tapi selama kita berada dalam sebuah gerbong yang sama, dalam sebuah perjalanan yang sama, kenapa kita tak berbagi separuh roti milik kita?

Kita adalah generasi yang lahir, hidup dan bercinta di seberang jembatan emas bung Karno. Sebagian besar lahir tanpa mengalami kemelut revolusi Indonesia sebagai sebuah negara baru. Sebagian lain lahir tanpa mengalami hingar bingar politik masa demokrasi terpimpin, hingar “1000 slogan dan 0 puisi”, seperti pernah dicatat Goenawan Mohamad. Sebagian lahir tanpa mengalami kemelut peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Soeharto, dari Orla ke Orba, di tahun 1965. Sebagian lain lahir tanpa mengalami kemelut Malari. Bahkan mungkin ada juga yang lahir tanpa pernah mengalami kemelut Asas Tunggal di tahun 1980-an. Kita adalah generasi yang mewarisi cerita-cerita tentang badai demi badai di masa lalu. Kadang kita tak mendengar cerita-cerita itu. Kadang kita melupakan mereka. Tapi kini kita sedang menghadapi badai kita sendiri. Badai yang sedemikian dahsyatnya sehingga bahkan makna kata “kita” dalam keseluruhan orasi ini sedang dihajar angin puting beliung, dan terancam terbang entah kemana.

Dalam suasana demikian, saya akan mengakhiri orasi ini dengan mengajak Anda untuk menyimak sebuah lagu yang saya persembahkan sebagai lagu cinta terhadap negeri. Waktu saya kecil dulu, di sekolah, saya diajari lagu cinta untuk negeri hanya sebatas lagu kebangsaan dan sekian paket “lagu wajib”. Banyak dari lagu wajib itu yang bagus, tapi pada saat saya dewasa terasa arkaik atau lugu, kurang memuaskan rasa kebangsaan saya (kalau sedang ada rasa kebangsaan itu). Belakangan ini banyak juga yang menyanyikan lagu Gombloh, Kebyar Kebyar untuk menyatakan cinta kepada negeri. Atau lagu Jangan Menangis Indonesia dari Harry Roesli. Lagu-lagu cinta untuk negeri biasanya dibuat menggelora atau khusyu’. Tapi malam ini saya ingin mempersembahkan sebuah lagu cinta biasa sebagai lagu cinta untuk negeri, untuk bangsa. Lagu ini biasa dinyanyikan mahasiswa untuk menggombali pacar mereka, atau dinyanyikan di pesta pernikahan. Lagu ini berasal dari sebuah puisi yang banyak sekali dikutip orang untuk menggombali kekasih mereka. “Editan” puisi itu, atau lebih tepat mutilasi puisi itu, pernah dibacakan Bella Saphira dalam sebuah sinetronnya. Malam ini saya persembahkan lagu gombal ini kepada Indonesia. Lagu Aku Ingin dari puisi Sapardi Djoko Damono.

 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

Terimakasih, selamat malam, dan pulanglah dengan cinta.

 

Written by hikmatdarmawan

December 8, 2012 at 12:49 pm

Leave a comment