But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

Masjid dan Keretakan Bangsa

leave a comment »

#arsip Ini tulisan saya, kalau tak salah, pada 1997. Saya tak yakin juga ini pernah dimuat di mana. Membaca tulisan ini, saya jadi mesem-mesem sendiri: saya “anak musholla” banget ya 🙂

best things in life

Pasar murah sembako di masjid? Transaksi jual beli di rumah Allah? Secara iseng, orang bisa bilang bahwa itu versi harfiah dari ungkapan Akbar S. Ahmed dalam Posmodernisme dan Islam : masjid bersaing dengan mal!

Tentu saja maksud Ahmed bukan itu. Ia kurang lebih menyoroti betapa mal menjadi kuil manusia modern dalam memusatkan hidupnya. Dalam masyarakat muslim, masjid memiliki sejarah panjang sebagai pusat sosial, dan kini tergerus oleh mal-mal.

Mal adalah kuil pemaknaan manusia modern terhadap hidup mereka yang didefinisikan oleh ekonomi. Bukan kebetulan jika kita, Indonesia Orde Baru (dengan mengambil Jakarta sebagai pusatnya), menampakkan gairah belanja luar biasa yang ditandai maraknya mal-mal.

Menurut MEDIA INDONESIA (16/1/1997), total tanah untuk area mal-mal di Jabotabek yang telah maupun akan dibangun adalah 4.132.480 m2. Sebelum krisis, sedang antri pembangunan mal di Ancol, Bintaro dan BSD, masing-masing seluas 200.000 m2 atau lebih. Semua itu lahir dalam suatu Orde yang menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam melakukan nation building menjelang milenium ketiga.

Dan justru ekonomi lah yang mengkhianati Indonesia Orde Baru!

 

Reformasi = pertanyaan

Krisis telah (selalu) membawa hikmah luar biasa. Siapa sangka, krisis yang semula ‘sekedar’ jatuhnya rupiah di bulan Agustus akan membuka jalan bagi desakan amat kuat untuk reformasi ekonomi-politik (juga sosial, dan akhirnya – atau mulanya? – budaya) yang telah lama diidamkan, dan disuarakan, oleh sebagian orang berakal sehat di negeri ini sejak lumayan lama.

Reformasi bermula dari pertanyaan, dari ketidakpuasan pada apa yang ada – pada status quo. Jika suatu pertanyaan dibiarkan tumbuh secara wajar, reformasi akan tumbuh, insya Allah, secara wajar pula. Jika pertanyaan muncul karena paksaan keadaan, reformasi bisa jadi juga akan tumbuh secara ogah-ogahan, merasa terpaksa, dan bisa jadi menuntut biaya (amat mahal, malah).

Di samping itu, pertanyaan yang lahir dari keadaan yang mendesak bisa jadi akan berujud pertanyaan-pertanyaan panik. Maka pertanyaan-pertanyaan salah kaprah bisa tumbuh subur, menyesatkan, mengarahkan pada reformasi yang seolah-olah saja. Tercakup dalam “pertanyaan salah kaprah” adalah pertanyaan yang benar, tapi diutamakan lebih dari porsi seharusnya.

Secara kasar, pertanyaan dasar dalam krisis kita bisa disederhanakan jadi soal “siapa” dan “kapan”, atau “apa” dan “bagaimana”. Dalam panik karena pukulan krisis moneter yang tak habis-habis, banyak yang bertanya “siapa” (padahal lebih penting bertanya “apa”) dan “kapan” (padahal lebih penting bertanya “bagaimana”).

Pada awal krisis, misalnya, populer pertanyaan “siapa yang jadi biang keladi krisis”? Mencari kambing hitam sempat jadi keasyikan nasional: sebagian menunjuk para spekulator, dengan mengikuti suara galak Mahathir yang menghujat Soros. Sebagian lain menunjuk para konglomerat. Hingga kini pun, kambing hitam masih laku.

Dalam talk show Liputan Khusus SCTV, 25/2/97 lalu, Ekky Syahrudin sang wakil rakyat masih yakin membatu bahwa krisis moneter akibat ulah spekulator. Ia percaya CBS, karena agaknya yakin ungkapan “jurus yang akan mematikan para spekulan”.

Beberapa waktu sebelumnya, ramai soal Sofjan Wanandi dan CSIS. Dalam acara peluncuran program KAUM di Masjid Sunda Kelapa, 27/1/97 lalu, Syarwan Hamid menyebut “tikus-tikus” yang menyebabkan krisis sedemikian parah begini. Di beberapa tempat, masyarakat memutuskan bahwa “Cina”-lah masalahnya. Pers juga ikut disalahkan karena dianggap memperparah situasi dengan “menyebarkan berita-berita yang tak benar dan membingungkan”. Mungkin sebentar lagi, para ahli yang meragukan CBS atau orang-orang yang skeptis pada calon wapres pun akan ditunjuk sebagai penyebab rupiah tak stabil.

Kita terus berkutat pada pertanyaan “siapa”. Apalagi saat krisis ekonomi bergeser menjadi tuntutan reformasi politik demi efektifnya reformasi ekonomi. Ramailah orang menyoal siapa pemimpin bangsa untuk masa depan, siapa wapres (yang dianggap jabatan strategis untuk reformasi politik ke depan). Jelas, dalam politik praktis, “siapa” adalah soal amat penting. Tapi di tengah euphoria pertanyaan “siapa”, ada bahaya masalah reformasi ekonomi dan politik tergemboskan maknanya. Semua orang bicara “reformasi”, semua merasa mengerti, tapi tanpa sadar meluputkan soal “apa” di balik reformasi.

Padahal, mementingkan “apa” dalam agenda reformasi akan memberi kerangka kerja yang lebih tahan lama dan fleksibel. Siapapun wapres atau presiden kita, agenda reformasi yang jelas mestinya tetap berjalan dan dijalankan. Siapapun yang berkuasa, sistem ekonomi kita mestilah diupayakan selalu produktif dan bersih dari korupsi, kolusi dan manipulasi; siapapun pemimpin bangsa, sistem politik harus diupayakan selalu partisipatif dan transparan. (Memang ada saat “siapa” jadi pertanyaan penting, khususnya dalam politik; tapi saya ragu apa Indonesia sudah sampai ke titik itu?)

Sejalan dengan itu, pertanyaan “kapan” tak sepenting “bagaimana”. Ya, penting memang soal kepastian kapan rupiah stabil. Tapi soal kurs cuma kulit dari masalah ekonomi, apalagi jika masalah ekonomi itu sudah bermatra politik-sosial, bahkan budaya, seperti di Indonesia kini. Tak ada formula ajaib untuk seluruh masalah itu. Setiap pilihan punya konsekuensi yang mesti ditanggung bersama oleh bangsa Indonesia (dan itu biasanya berarti lebih banyak ditanggung oleh rakyat kebanyakan).

Tapi desakan “kapan” mungkin akan menendang jauh-jauh soal “bagaimana”. Keinginan mendapat hasil segera bisa membuat kita dengan panik “menjual jiwa kepada iblis”: pakai apa sajalah, yang penting rupiah stabil besok!

 

Retak, rekat

Kepanikan tersebut amat terasa pada saat ikatan kebersamaan runtuh, saat semua orang merasa tak bisa mengandalkan orang lain dan harus menyelamatkan diri sendiri. Kiamat belum tiba, tapi psikologi “ibu melupakan anak yang disusuinya” sudah terhidang di depan kita.

Saat rush belanja beberapa waktu lalu, sesuatu yang dahsyat terjadi: “orang lain” (mencakup orang-orang Irian yang mati kelaparan, orang-orang kampung yang sama butuhnya pada susu dan sembako tapi tak punya duit, para penganggur korban krisis moneter) jadi demikian abstrak bagi para pelaku rush, hingga derajat tiada. Saat orang tarik urat berebut minyak goreng, tak ada “Indonesia”, yang ada hanya perut sendiri.

Bangsa ini memang telah retak sejak lama. Senjang demi senjang telah membelah bangsa ini: senjang antara yang kaya dan yang miskin, senjang antara yang berkuasa dan yang tidak, antara elite dan rakyat alit; belum senjang antara idealitas kenegaraan dan praktek birokrasi di lapangan, senjang antara cita-cita/harapan dengan kenyataan, antara yang simbolik dengan yang keseharian.

Contoh mutakhir dari senjang antara yang simbolik dengan yang realistik adalah gerakan cinta rupiah dan cinta tanah air. Masyarakat, kita tahu, kini menderita ketakpercayaan yang akut pada Pemerintah (nyaris setiap ada kebijakan pemerintah soal krisis moneter, respon pasar adalah rupiah jatuh atau capital flight ). Tapi apa respon kita? Tipikal: bikin stiker, bikin acara jor-joran, bikin slogan – simbol, simbol dan simbol! Sementara mal-mal tetap ramai, dan valentine night di kafe-kafe tetap penuh.

Masyarakat, bangsa, yang retak perlu direkatkan kembali. Masyarakat jangan dibiarkan jadi keping-keping yang terserak tak berdaya. Disintegrasi jadi soal yang krusial untuk kita saat ini: kita tak ingin nasib Lebanon, Yugoslavia, Aljazair (dan, kalau mau jujur, negeri kita di jaman PKI) menimpa kita; kita tak ingin antar tetangga jadi musuh dan masyarakat terjerumus dalam kegelapan teror. Itu tak bisa diupayakan sekedar lewat simbol dan upacara. Dan itu juga tak bisa melalui keasyikan Pemerintah mengupayakan sendiri semuanya, mengasyiki penjagaan kemapanan perannya sebagai pusat, termasuk dalam menyelesaikan soal krisis kini.

Berhentilah mengidentikkan stabilitas pemerintahan sama dengan stabilitas masyarakat. Berilah ruang seluas mungkin pada masyarakat untuk mengupayakan sendiri kebersamaan mereka – ajak masyarakat berdialog soal apa saja yang mungkin menimpa mereka, dan bagaimana mengatasinya; jangan tetap membudayakan “bermain dalam gelap”, yang bertumpu pada keharusan pasifnya masyarakat.

 

Community centre

            Di situlah perlunya community centre (pusat kemasyarakatan) yang aktif dan efektif. Dalam situasi normal pun selalu perlu ada lembaga-lembaga yang bisa jadi perantara individu dengan Negara. Ruang bagi masyarakat untuk mengupayakan kebersamaan perlu dilembagakan. Dan untuk Indonesia, masjid-masjid bisa berperan demikian.

Sebetulnya, bukan cuma masjid, tapi pusat-pusat ibadah. Masjid menjadi strategis karena memang umat Islam adalah mayoritas. Lebih strategis lagi jika, seperti ajakan Amin Rais dan Adi Sasono dalam peluncuran KAUM (Komite Aksi Untuk Masyarakat korban krisis moneter), masjid tak membatasi aksi sosialnya hanya pada umat Islam saja, tapi juga pada umat agama lain. Betapapun, rakyat adalah rakyat, korban adalah korban dan pertolongan mesti selalu diberikan.

Secara teoritis, masjid, atau pusat ibadah, akan menjadi lembaga yang efektif untuk memberi kubah pemaknaan bagi individu-individu, anggota masyarakat, yang kehilangan orientasi dalam realitas yang retak seperti kini. Saat semua yang stabil, taken for granted, tak bisa diandalkan lagi, seseorang perlu membangun lagi pemaknaan baru, atau menyegarkan kembali pemaknaan yang telah ia miliki. Dan melalui pemaknaan bersama, kata “Indonesia” akan kembali berarti, kongkrit dan hadir dalam keseharian. Masjid/pusat ibadah bisa mengakomodir proses itu.

Secara praktis, tentu saja banyak masalah. Orang, misalnya bisa menyorot risiko primordialisme yang bisa berkembang jadi tribalisme yang populer di jaman globalisasi ini. Dalam hal masjid, di lapangan masih muncul kendala warisan lama: “masjid NU” atau “masjid Muhammadiyah” masih jadi kategori kerja para aktifis masjid. Belum lagi soal-soal SDM, soal-soal kemampuan organisasional dan manajerial yang di kebanyakan masjid bagai makhluk dari planet lain: asing dan cenderung dimusuhi (atau setidaknya tak dianggap penting).

Ya, banyak masalah. Tapi itu tak mengurangi nilai strategis masjid/pusat ibadah dalam situasi krisis kini. Bermula dari penyaluran sembako, masjid-masjid bisa mengembangkan diri jadi pusat kegiatan masyarakat yang aktif dan efektif: jadi penyalur dana masyarakat, pusat pertemuan, kegiatan makan bersama, bahkan tempat memupuk ketrampilan dalam rangka mempersiapkan diri menyongsong wajah ekonomi yang berubah akibat bantua IMF dan globalisasi.

Dalam bahasa seorang rekan: daripada para pengangguran (yang notebene banyak yang intelektual) itu turun ke jalan, kan lebih baik kumpul-kumpul di masjid…. ***

 

 

Written by hikmatdarmawan

February 7, 2016 at 6:25 am

Posted in Uncategorized

Leave a comment