But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

Archive for January 2015

SASTRA GUGAT PEREMPUAN

with one comment

[CATATAN: Lanjut mengarsip tulisan-tulisan saya. Artikel ini saya tulis untuk majalah Madina,  2008)

Sastra perempuan Islam marak dalam sastra dunia. Menggugat, dan digugat. Ada pergeseran.

Thalassa Ali. (Foto dari www.lokvani.com)

Thalassa Ali. (Foto dari http://www.lokvani.com)

John Lennon bilang, “women are the nigger of the world” (“perempuan adalah negro-nya dunia”). Khasanah studi perempuan di kalangan kulit hitam Barat juga bicara hal hampir serupa: kaum perempuan berwarna mengalami diskriminasi pangkat dua, ditindas sebagai kulit hitam dan ditindas sebagai perempuan. Bagaimana dengan perempuan Islam? Pasca 9/11, umat Islam jadi “negro-nya dunia”. Lantas, apakah perempuan Islam jadi negro-nya negro?

Membaca sederet karya sastra dari kaum perempuan Islam modern di berbagai negeri, terasa adanya masalah itu. Paling tidak, kita merasakan ini jika kita membatasi pada karya-karya yang diterima dalam khasanah sastra dunia (yang biasanya ditandai dengan penerjemahan karya-karya itu ke dalam bahasa Inggris; beberapa penulis malah menulis dalam bahasa Inggris). Misalnya, karya-karya Nawal El Saadawi, Ahdaf Soueif, Monica Ali, Kamila Shamsie, Leila Aboulela, Fadia Faqir, Diana Abu-Jaber, atau Thalassa Ali.

Tentu, selalu ada kecurigaan: apa ini bukan satu lagi “akal-akalan” Barat untuk membentuk citra negatif Islam? Tidakkah pilihan untuk mencuatkan karya-karya kritis dari para penulis perempuan di negeri-negeri Islam itu adalah sejenis perangkap Orientalisme? Apa boleh buat, memang ada unsur demikian. Barat selalu punya sudut pandang dan kepentingannya sendiri.

Namun, kritisisme para penulis perempuan Islam itu juga tak bisa diabaikan begitu saja. Mereka mengangkat soal-soal nyata di dunia mereka: kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan struktural, lemahnya posisi perempuan dalam pandangan tradisional, dan sebagainya. Seorang perempuan yang termodernkan harus mengalami pertanyaan-pertanyaan keras tentang posisi tradisionalnya.

Tak perlu menjadi “feminis” untuk mengalami modernisasi yang tak nyaman itu: seorang muslimah saat ini nyaris tak bisa menghindari lembaga pendidikan, atau terpaan media massa. Bahkan ruang publik pun, yang bersifat umum dan seakan netral, akan menghidangkan persoalan-persoalan modern itu: bagaimana seorang muslimah naik bus berdesakan? Bagaimana ia harus berpakaian di muka umum? Bagaimana ia harus bicara? Bagaimana ia bekerja? Bagaimana ia menghadapi godaan-godaan billboard atau chic-lit atau sinetron?

Dalam dunia penuh pertanyaan itulah, sastra perempuan Islam modern hadir. Nawal El Saadawi barangkali adalah penulis feminis-Islam paling kita kenal. Sejak 1990-an, novel-novelnya banyak diterjemah dan dibicarakan di Indonesia. Perempuan kelahiran 1931 di Kafr Tahla, sebuah desa dekat Kairo, menggambarkan sebuah tekad hidup yang keras. Sebagai perempuan kelahiran pedesaan, El Saadawi harus menaklukkan pembatasan tradisional/agama maupun pembatasan pemerintah kolonial Inggris, untuk bisa lulus dari Universitas Kairo pada 1955 di bidang psikiatri.

Sejak mulai menulis hampir 30 tahun lalu, bukunya sudah hampir 30 judul. Perempuan di Titik Nol (diterjemah oleh Penerbit Obor, sebagaimana novel-novel El Saadawi lainnya) adalah novel yang ia tulis setelah melakukan riset pada 1973-1976 tentang perempuan dan neurosis pada 20 subjek di penjara dan rumah sakit Mesir. Novel itu ia dasarkan pada seorang perempuan terhukum mati karena membunuh suaminya, yang ia temui selama penelitian itu.

Karena lugasnya El Saadawi menyoal hal-hal yang dianggap tabu, karya-karyanya dilarang di Mesir. Ia terpaksa menerbitkan karya-karyanya di Lebanon. Pada 1980, ia ditahan rezim Anwar Sadat karena kritik-kritik kerasnya pada pemerintah. Di penjara, pada 1981, toh ia masih bisa mendirikan sebuah organisasi feminis (yang pertama di Mesir). Organisasi ini dilarang pada 1991, setelah mengkritik keterlibatan AS dalam Perang Teluk saat itu. Selepas dari penjara pada 1982, hidupnya terancam oleh kaum fundamentalis Islam sehingga harus selalu dalam pengawalan.

Nawal el-Shadaawi (foto dari mwnuk.co.uk)

Nawal el-Shadaawi (foto dari mwnuk.co.uk)

Sejak 1993, El Saadawi mengajar sastra di Amerika, dan ia mengkritik keras Amerika juga. Dalam sebuah wawancara dengan Stephanie McMillan pada 1999, ia menyebut demokrasi Barat keliru (false democracy). Ia menyatakan perlawanan terhadap kapitalisme, dan mempertahankan kritisismenya pada semua agama –Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu. Jika kita membaca novel-novel Nawal, kita merasakan api itu. Api amarah terhadap segala yang ia pandang sebagai ketidakadilan.

Sejak 1990-an, publik Barat mulai tertarik pada penulis-penulis perempuan Islam dengan latar lebih beragam. Novelis muda Fadia Faqir, misalnya, masih meneruskan ciri aktivisme perempuan Islam seperti El Saadawi. Ia tinggal di Yordania dan Inggris, aktif dalam gerakan HAM dan feminisme. Novelnya ketiganya, My Name is Salma (diterjemah oleh penerbit Alvabet), bercerita tentang Salma yang hidup di dua dunia, yakni desa Timur Tengah dan Inggris. Hidup Salma berubah drastis gara-gara ia hamil di luar nikah, dan dipenjara karenanya. Tak seperti seniornya yang cenderung agresif menggugat, Faqir menulis lebih lembut dan humoristis.

Contoh lain, Ahdaf Soueif dari Mesir. Beda dengan El Saadawi, Soueif menulis dengan lembut dan hati-hati. Nada suara lembut dalam prosa-prosanya mungkin terkait dengan latar kelahirannya di keluarga terpelajar dan terpandang di Mesir. Pada usia 14, ia pindah ke Inggris. Soueif menulis baik dalam bahasa Arab dan Inggris. Ia menulis dua kumpulan cerita pendek, Aisha (1983) dan Sandpiper (1994); juga dua novel gemuk, In The Eyes of The Sun (1992) dan The Map of Love (masuk daftar pendek anugerah sastra bergengsi di Inggris, The Booker Prize 1999).

Soueif menulis jatuh-bangun masyarakat Mesir modern, segala pertentangan antara kaum nasionalis, kaum sosialis, juga kaum fundamentalisme Islam. Tapi yang jadi kontroversi adalah 10 halaman dari sekitar 800 halaman salah satu novelnya: adegan selingkuh (zinah) seorang perempuan Mesir dengan seorang bule Inggris. Dalam kelembutannya, Soueif meneropong seksualitas dan politik dari sudut pandang perempuan. Topik ini, apalagi penggambarannya, dianggap tabu.

Kecenderungan baru lainnya, terjadi pergeseran tema dari masalah ketidakadilan yang keras menjadi minat terhadap masalah identitas. Tema ini menguat terutama pada para penulis perempuan yang secara fisik tinggal di Barat atau bolak-balik di Barat dan Timur.

Leila Abulela, misalnya. Berlatar pendidikan ekonomi, perempuan yang lahir di Kairo dan besar di Khartum (Sudan) ini tinggal bolak-balik di Abu Dhabi dan Aberdeen, Skotlandia. Novel pertamanya, The Translator (1999), tentang seorang janda muda Sudan yang tinggal di Skotlandia dan memadu cinta dengan seorang peneliti Islam. Novel keduanya, Minaret (2005, diterjemah oleh Penerbit Hikmah) yang ia tulis selama empat tahun tinggal di Indonesia, dipuji The Guardian sebagai novel indah dan menantang. Novel ini tentang Najwa yang tinggal di London, tentang betapa iman dan jilbab justru memberdayakan seorang perempuan.

Monica Ali, lahir di Bangladesh dan tinggal di London. Novel pertamanya, Brick Lane, sempat bikin sensasi karena terpilih sebagai salah satu “karya masa depan” oleh jurnal sastra Granta, padahal baru satu bab dipublikasikan. Saat ini, novel itu sedang difilmkan, dan jadi kontroversi. Sebagian masyarakat Bangladesh di London keberatan atas gambaran Ali atas mereka yang “tampak bodoh serta tak berpendidikan.” Ali, dalam sebuah wawancara, berkata, “jika kau mendapat reaksi keras dari kaum konservatif, maka pasti ada yang benar dalam langkahmu.”

Monica Ali (Foto dari randomhouse.com.au)

Monica Ali (Foto dari randomhouse.com.au)

Kamila Shamsie yang berasal dari Pakistan dan lama tinggal di New York, juga dianggap menghasilkan karya-karya cemerlang. Minatnya pada kerumitan politik dan budaya Pakistan masa kini, luas. Sejak novel pertamanya, In a City by The Sea (1998), hingga Kartography (2002) dan Broken Verses (2005, diterjemah oleh penerbit Hikmah), Shamsie banyak menuai pujian dan, biasa, kontroversi. Beda dari Ali, dan dekat dengan Aboulela, Shamsie banyak menampilkan sosok perempuan Islam kontemporer. Tak selalu ia menampilkan sosok ideal. Malah, agaknya ia lebih suka tokoh-tokoh novelnya jadi modernis tulen, seperti dirinya.

Diana Abu-Jaber (Foto dari faculty.up.edu)

Diana Abu-Jaber (Foto dari faculty.up.edu)

Dua novelis perempuan Amerika memberi corak lain sastra Islam mutakhir ini. Diana Abu-Jabeer (menarik perhatian dengan novel kocaknya, Arabian Jazz) menunjukkan pergulatan akar identitas Arab dan fakta dirinya sebagai warga negara Amerika tulen sejak lahir. Thalassa Ali, lain lagi. Perempuan mu’allaf ini sempat pindah ke Pakistan (sebelum balik lagi ke Boston dan jadi spekulan saham yang sukses), dan membuat seri novel fantasi sufistik (A Singular Hostage, A Beggar at The Gate). Ia telah jatuh cinta pada Islam ketika belajar sufi di Harvard. Ia memandang Pakistan secara positif.

Kedua perempuan ini tak lagi bicara tentang penindasan perempuan. Thalassa malah seolah kembali ke eksotisme dunia Islam klasik. Apakah sastra perempuan Islam sedang melampaui era gugatnya?***

Written by hikmatdarmawan

January 20, 2015 at 2:57 pm