But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

BUKAN SOAL AGAMA, TAPI ATAS NAMA

with one comment

“Our Freedom Can’t Wait!” Muhammad Speaks. Source: CBS (From www.baas.ac.uk)

“Our Freedom Can’t Wait!” Muhammad Speaks. Source: CBS (From http://www.baas.ac.uk)

 

Saya sebetulnya tidak setuju, dengan retorika yang kini jadi seakan kebenaran umum pada sebagian orang: “Jangan bawa-bawa agama ke dalam politik!”

Saya tidak setuju pernyataan itu dalam banyak segi. Pertama, kalimat “jangan” di situ sungguh patronizing, dan memaksakan nilai tertentu pada lawan bicara. Nilai sekularisme, nilai yang menyatakan bahwa agama dan politik adalah dua wilayah yang beda, terpisah, dan tak boleh bercampur.

Dalam nada pemaksaan tersebut, ada semacam pemutlakan: bahwa pemisahan agama dan politik (kenegaraan) adalah satu-satunya kebenaran, sumber kebaikan, dan sebaliknya, pencampuran politik dengan agama adalah sebuah keburukan dan pembawa mudharat nyata. Apa benar?

Sebelum sampai pada kesimpulan benar atau tidak preposisi itu, saya kok lebih suka mulai dengan menyorot dari segi praktik. Sederhana saja: mau dilarang-larang, di-“jangan-jangan”, nyatanya banyak orang membawa begitu saja agama ke ranah politik praktis di Indonesia. Lha, bukankah tak ada halangan bagi kelompok macam FPI, atau partai-partai macam PKS, PPP, PKB, untuk membawa-bawa agama dalam kiprah politik mereka? Percuma berpegang pada “jangan” jika memang tak ada yang dilarang dalam soal ini.

Beda soal dengan, misalnya, India. Atau Turki. Di kedua Negara itu, Sekularisme diakui secara resmi dan gamblang sebagai dasar bernegara. Ada regulasi (pengaturan) Negara untuk menjamin agar mereka tetap Sekular. Tapi, ternyata, bahkan dengan regulasi yang gamblang pun, kedua negara tersebut tak mampu membendung politik berbasis agama.

Di India, ada masanya partai kaum fundamentalis Hindu, BJP, mendominasi pemerintahan India, dan membikin banyak ketegangan dengan banyak kelompok politik di India. Turki, kita tahu, sudah dianggap mengalami Islamisasi di bawah rezim Erdogan. Lucunya, baik menurut kaum konservatif Islam di dunia (termasuk, banyak juga, di Indonesia) maupun oleh kaum Hawkish yang cenderung anti-Islam di Amerika, misalnya, sama saja rupanya: rezim Erdogan adalah rezim “Islami”. Kelompok fanboi (sebetulnya, banyak juga fangirl-nya) Erdogan memaklumi saja jika rezim Erdogan tidak/belum benar-benar menggugat secara radikal dasar negara sekular Turki.

“Politik adalah siasat,” begitu retorika lazim para ustadz untuk soal seperti Erdogan. Dan itu, kawan, adalah sebuah doktrin agama juga, dalam Islam, yang popular dalam ajaran dakwah ala Ikhwanul Muslimin. (Buat yang buru-buru mengaitkan gerakan Ikhwanul Muslimin, hey, itu bukan pendapat saya: Ikhwanul Muslimin punya sejarah panjang, dan bermula dari kehendak membebaskan dunia Islam dari kolonialisme –saya menghormati banyak pemikiran dalam gerakan tersebut, walau saya juga menampik banyak hal dari gerakan itu).

Lagipula, jangan salah, toh dari sebelum Indonesia ini resmi lahir, taruhlah seperti dipraktikkan oleh Tjokroaminoto di masa Hindia Belanda, agama telah digunakan sebagai instrumen penting kepolitikan. Tjokro menciptakan sebuah wahana penting gerakan politik kebangsaan, yakni Syarikat Islam (SI). Memangnya “Islam” di situ, apa? Nama orang? Ya, nama agama lah. Bukan hanya nama, prinsip-prinsip keagamaan pun dibawa serta dalam gerakan yang sangat penting bagi gerakan nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20 itu.

Lho, malahan, SI juga jadi rahim kelahiran Komunisme di Indonesia yang berujung pada lahirnya PKI yang sampai kini masih jadi momok bagi banyak kelompok Islam itu. Dan selama PKI berkiprah, banyak lah unsur agama dibawa-bawa, entah secara positif maupun negatif.

Teruskan saja sejarahnya, walau lintasannya sekilas-sekilas: pada masa Orba, agama juga sering dibawa-bawa, baik oleh rezim penguasa, maupun berbagai kelompok oposisi. Dalam kampanye era Orba pun demikian: paling meriah jika Pemilu, PPP dan Golkar akan “perang ayat”, menggunakan ayat-ayat Qur’an untuk menjatuhkan lawan dan menggiring suara pemilih. Menyebalkan? Nista? Atau hiburan? Katarsis? Mungkin semua itu.

Apa artinya, jika saat ini isu SARA menjerat Sang Petahana Pilkada DKI 2017, lantas kita berteriak-teriak “Jangan bawa-bawa Agama dalam politik!” Praktis, ucapan itu seakan abai pada kenyataan, keberartiannya gugur sejak diucapkan.

Mending, kita berpikir secara praktis juga: bagaimana agama bisa berperan secara positif dalam politik praktis?

Sebab, segala jurus fitnah (lewat hoax dan pelintiran), ujaran kebencian, ledakan-ledakan emosi akibat isu agama (atau, dianggap isu agama) hanyalah satu dari sekian banyak cara beragama. Dan sekian cara beragama itu akan bergantung pada gagasan pelaku masing-masing cara beragama itu tentang apa itu “beragama”.

Ketersinggungan kaum pengguna retorika Islam “keras” terhadap Ahok itu kan bukan hal baru, sudah sejak semula Ahok jadi gubernur DKI, atau bahkan sebelum itu (waktu masih jadi calon wagub bersama calon gubernur Jokowi), sebagian umat Islam seakan meradang betul ada “orang kafir” bakal memimpin umat Islam.

Pangkalnya adalah gagasan bahwa status keagamaan resmi seseorang bersifat menentukan secara mutlak kelayakan seseorang memimpin sekelompok umat manusia –kelompok umat manusia yang, coba tilik lebih dalam, dipandang juga hanya sebagai sekumpulan pemeluk resmi satu agama. Begitulah cara beragama orang-orang yang menolak Ahok (atau Jokowi, atau siapa pun) sebagai pemimpin politik atau birokrasi dengan alasan status agama sang calon.

Apa tak ada cara lain beragama? Tentu saja ada, bahkan banyak. Intinya, bisa saja seseorang pemeluk taat Islam justru meyakini agamanya menitah dirinya untuk, misalnya, “menyerahkan sesuatu pada ahlinya”. Atau, seperti Ibnu Taimiyah, yang berpendapat bahwa intisari agama adalah keadilan –maka beragama yang baik, ideal, dan “benar” adalah menegakkan keadilan di atas menegakkan status resmi agama si pemimpin dan umat.

Taimiyah berpendapat, “Lebih baik suatu negara dipimpin oleh seorang kafir tapi adil, ketimbang oleh seorang muslim yang tidak adil/zhalim.” Tentu saja, akan ada yang bisa membelokkan adagium ini ke dalam kasus Ahok, “Nah, Sang Petahana, menilik kasus-kasus penggusuran rakyat kecil di Jakarta, sudah bukan muslim, zhalim pula!” Bukan itu poinnya, Akhi, Ukhti!

Poin saya, adalah: ada cara beragama yang lebih baik daripada cara beragama yang gampang marah, terpaku hanya pada status agama resmi seorang calon gubernur dan para calon pemilih, dan gemar menebar fitnah serta sembarangan memakai podium agama seperti mimbar Jumat untuk menghujat dan menghujat dan menghujat seseorang.

Jangan bawa-bawa agama? Tidak. Demi Tuhan, bawalah agama ke arena politik! Seperti Martin Luther King dan Malcolm X membawa agama ke arena politik untuk mengilhamkan keadaan yang lebih baik bagi semua umat manusia. Seperti Nabi Muhammad SAW menggugat kesenjangan dan penindasan kelas yang dikukuhkan oleh penguasaan Agama dan sumber-sumberdaya Agama di tangan para elite saja.

Bawalah agama ke dalam politik seperti Gus Dur, Cak Nur, Gus Mus, Tjokro, Soegija, Njoman S. Pendit, Hamka, Munir, Bambang Widjoyanto dan banyak tokoh dengan kadar keagamaan berbagai-bagai yang penuh yakin menyusun Indonesia batu demi batu. Seperti Quraish Shihab berdoa di sebuah panggung politik demi menenteramkan para relawan di sebuah Pilpres, di tengah hujan fitnah dari orang-orang seperti Jonru.

Seperti KH. Zainuddin MZ berdakwah tentang kebajikan di tengah pentas Kantata Takwa. Seperti Emha dulu menggemuruhkan Lautan Jilbab di berbagai kota di Jawa, di saat jilbab dilarang rezim Soeharto dan jadi simbol perlawanan atas ketakadilan struktural masa itu. Agama bisa jadi ilham kemanusiaan. Agama, ya, Islam pun, yang banyak disangka buruk sebagai perusak dunia modern kita, bisa jadi ilham kemanusiaan dan kebangsaan kita.

Mungkin, Cak Nur (Nurcholis Madjid) memang jitu. Ia menyarankan sekularisasi Islam. Yang orang sering luput, Cak Nur pada saat yang sama, menolak sekularisme. Gagasan “sekularisasi” dari Cak Nur adalah mengolah dunia dalam logika dunia, dan tidak dengan mudah menyerahkan segalanya pada yang gaib. Antum a’lamu biumuuri dunyakum, kata Nabi SAW, Kalian lebih paham urusan-urusan duniawi kalian.

Lalu di manakah letak dan peran agama, dalam gagasan Cak Nur? Ia ada dalam ranah etis –agama menjadi sumber penilaian benar-salah dan baik-buruk bagi seseorang (atau sekelompok orang) dalam menjalani kehidupan dunia yang diarahkan menjadi keadaan lebih baik bagi manusia. Agama tidaklah memberi arahan bibit mana yang lebih unggul untuk panen jagung terbaik, tapi Agama lebih berperan, misalnya, pada membentuk kepercayaan bahwa seorang ilmuwan dan petani harus bekerja sebaik-baiknya untuk mendapatkan panen jagung terbaik demi kemaslahatan orang banyak.

Jadi, cara beragama yang lebih positif terhadap kemanusiaan itulah yang perlu masuk dan merangsek ke ruang percakapan politik dan publik saat ini. Jadikan berkompetisi saja, antara “agama” yang serba-marah-marah dengan agama yang serba berkah dan penuh rahmah dan marwah. Bawalah agama, yakni “agama” yang menjunjung tinggi keadilan, keadaban, kesejukan, ke dunia politik kita yang kotor ini. Bawalah agama yang etis.

Bukan “agama” yang penuh caci maki, gampang mengancam bunuh, serba membenci kanan kiri, dan memakai fitnah demi kemenangan. Buat saya, cara beragama penuh kebencian itu adalah penyalahgunaan agama: agama dijadikan alasan saja untuk membenci dan memenuhi hasrat perang yang pokoknya menghanguskan, menyingkirkan, menistakan orang dan kelompok yang beda. Buat saya, itulah penistaan Islam yang sesungguhnya.

Written by hikmatdarmawan

October 11, 2016 at 12:19 pm

One Response

Subscribe to comments with RSS.

  1. kereeeeeeeeen kang hikmat

    dodi0pdip

    October 12, 2016 at 5:01 pm


Leave a comment