But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

Archive for December 2010

SECANGKIR SASTRA: LEBIH HEBAT DARI CINTA

leave a comment »

O, para pencinta, waspadalah selama hari-hari pertama yang penuh bahaya itu! Jika kamu menyiapkan sarapan pasanganmu di ranjang, kamu akan diwajibkan untuk meneruskannya selama-lamanya atau dituduh membenci dan berkhianat! (Milan Kundera)

Marketa tiba-tiba menyadari bahwa dalam percintaan pun ada serangkaian kontrak “…yang tercetak dalam huruf-huruf halus”. Hubungan suami-istri adalah yang terberat. Sesuatu yang tak mungkin harus dilakukan — lebih buruk lagi, ia harus jadi kebiasaan: membagi dua hidup, setiap saat, selamanya. Ya, kebiasaan adalah lebih hebat dari cinta.

Keadaan yang biasa kita kenal sebagai “majenun”, gila karena cinta, selalu sesaat. Atau si pengidap majenun mati karena kegilaannya; atau — ini lebih banyak terjadi — si gila tiba-tiba berpijak ke bumi (ia memang tak mungkin terus berjalan di awan), menjalani hari demi hari sebagai si normal. Itulah yang disadari Marketa sedang terjadi antara dirinya dan Karel, suaminya.

Apakah ia benar-benar secemburu itu?

Dulu memang pernah. Ya, waktu mereka pertama jatuh cinta. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kini, apa yang ia rasakan sebagai kecemburuan sebenarnya hanyalah kebiasaan.

Kontrak telah ditulis, “…terburu-buru disetujui oleh para pencinta selama pekan-pekan pertama percintaan mereka.” Dalam hal Marketa dan Karel, tersepakati bahwa Karel akan tidak setia dan Marketa akan pasrah.

Milan Kundera, yang mengisahkan Marketa dan Karel dalam bab dua Kitab Lupa dan Ketawa, seperti tak memberi jalan keluar. Di akhir novelnya yang lain, Unbearable Lightness Of Being, Kundera seakan berkata bahwa dalam waktu, dalam pelampauan kebiasaan-kebiasaan dan segala pemberontakan terhadapnya, ketika seseorang menua, dan telah nyata bahwa nasib tak bisa dilawan, barulah ia dapat tiba pada cinta yang lebih hebat dari kebiasaan: penerimaan.

Tapi ada cerita lain. Seorang sufi selalu menutup malam dengan menggauli istrinya, dan bertanya ‘apakah kamu bahagia?’, dan istrinya menjawab ‘ya’, terus demikian hingga puluhan tahun, hingga akhir hayat mereka. Seorang lain shalat lima waktu semenjak baligh hingga lahat — ia tak jemu, tak mengeluh, tak kecewa, malah bahagia. Palsukah kebahagiaan mereka? Bodohkah?

Jangan-jangan pemberontakan pada kebiasaan adalah sungguh khas manusia modern — ada juga kebiasaan, rutinitas, yang tak menguapkan cinta.

Juli, 2000

(Buku Kitab Lupa Dan Ketawa terbitan Bentang, 2000. Edisi bahasa Inggrisnya, dan buku Unbearable Lightness Of Being, bisa didapat di toko Kinokuniya, Plaza Senayan lt. 3, dan toko Aksara. Semua di Jakarta, saya belum mendapat kabar lagi bagaimana dengan kota lain.)

Written by hikmatdarmawan

December 30, 2010 at 7:46 pm

SECANGKIR SASTRA: MENCARI NING

leave a comment »

Foto dari: http://www.flickr.com/photos/44124297602@N01/120519184/

Ning. Hening. Ningsih. Nang-ning-nong. Ning.

Dalam kamus Poerwadarminta dan Jus Badudu, “ning” adalah “bunyi seperti bunyi bel”. Kamus Badudu melengkapi dengan arti kedua: “pada” — seperti dalam kalimat “Sandyakala ning Majapahit”.

Sebagai bunyi, ning adalah bunyi yang menegaskan kesenyapan. Sebuah genta, di sebuah malam, dan angin mendesir. Lalu bunyi. Ning.

Taufik Ismail menangkap ning ketika muda. Tahun 1965, Adalah Bel Kecil Di Jendela:

Sebuah bel kecil tergantung di jendela

Di bulan Juni

Berkelining sepi

Sebuah bunyi justru mengasosiasikan keadaan yang nir-bunyi. Kesenyapan. Kesunyian. Ketika membatin, kesunyian menjadi kesunyataan. Sesuatu yang hilang dalam alam berisik kota modern: alam kita sehari-hari. Kita lupa ning. Kita lalu tak mencarinya. Padahal telinga dicipta Tuhan untuk jadi alat hati mengejar ning. Telinga mampu menampung bising, tapi ia disiapkan untuk ning.

Dan Taufik Ismail, waktu berusia 30, menangkap ning, mengabadikannya untuk kita.

Sebuah bel tergantung di jendela

Di bulan Juli

Berke-

li-

ning

Sepi.

Juli, 2000

(Kutipan diambil dari kumpulan puisi Taufik Ismail, Tirani dan Benteng, yang diterbitkan ulang oleh Yayasan Ananda tahun 1993. Buku ini sudah susah didapat di toko-toko buku resmi. Mungkin anda bisa dapati di toko buku bekas di Pasar Senen atau toko buku milik Yose Rizal di TIM. Untuk edisi asli, bisa Anda fotokopi di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin, TIM. Bisa juga ke situs taufiqismail.com.)

Written by hikmatdarmawan

December 21, 2010 at 12:47 am

POJOK POP (1): SETELAH DEBUSSY MENDENGAR GAMELAN JAWA

leave a comment »

Sudah jadi pengetahuan umum di kalangan pelajar musik bahwa komposer Eropa Claude Debussy terkesima ketika pertama kali mendengar musik gamelan Jawa di Paris Expo pada 1889, dan pengalaman itu memengaruhi karya-karyanya kemudian.

Seorang pengamat, David Toop, malah menegaskan bahwa baginya, hari ketika Debussy mendengarkan gamelan itu adalah awal dari musik abad ke-20. Toop, dalam Ocean of Sound (1995), mencirikan sifat dasar musik abad ke-20 adalah musik yang berpusat pada komunikasi yang bersicepat dan konfrontasi antarbudaya. Debussy, yang sedang tak puas pada pakem musik Barat semasanya, terpana mendengar sesuatu yang sama sekali lain dalam musik gamelan Jawa di Paris Expo itu.

Salah satu biografi Debussy menyebut bahwa gamelan yang didengar oleh Debussy malam itu mengiringi tari Bedaya. Toop menduga bahwa versi Bedaya yang dilihat Debussy adalah versi selain Bedaya Ketawang dan Semang yang sakral. Tapi, sepengetahuan Toop, semua Bedaya ditarikan secara perlahan-anggun dan bertema ke-air-an. Menurut Toop, tema itu memengaruhi karya-karya Debussy beberapa tahun sesudahnya, yang “likuid” dan bertema “ke-air-an” juga: La Mer, Reflets dans l’eau, Jardins sous la pluie, dan Poissons d’or.

(Simak: Claire de Lune)

Malam itu, pada kemeriahan Paris Expo 1889, Debussy yang resah terpajan pada liyan, suatu dunia musik selain musik Barat yang mengungkungnya, sebuah “dunia bunyi di luar aturan-aturan dan pakem-pakem ketat” (Toop, 1995). Tentu, sebelum dan sesudah malam itu, Debussy juga terpengaruh oleh warisan musik abad pertengahan dan juga drama Vietnam semasa hidupnya. Tapi, jika melihat betapa terkenal “insiden” Debussy dan gamelan, maka malam itu adalah titik balik musikalitas Debussy –dan, kalau kita percaya Toop, juga titik balik musik Barat.

Di satu segi, sifat komunikasi dan konfrontasi (tabrakan) antarbudaya musik Barat abad ke-20 menjelaskan kelahiran musik-musik seperti jazz dan rock, misalnya,  yakni sebuah dialog cum tabrakan kreatif antara musik Barat dan musik blues yang berakar pada warisan musik kaum budak kulit hitam di Amerika. Bayangkan, misalnya, perjalanan dari blues jalanan di Amerika pada masa 1920-1930-an, hingga kemegahan progressive rock pada 1960-1970-an yang banyak diolah musisi Inggris dengan warisan Bethoven mereka. Betapa banyak dialog kebudayaan dalam perjalanan itu!

Gamelan sendiri, pada akhirnya bukan hanya gamelan Jawa. Ada gamelan Bali yang lebih dinamis. Dan kesemua gamelan itu telah banyak memikat para musisi Barat. Sebut saja komposer Collin McPhee, John Cage, Jon Hassel, Yes, hingga sampling band asal London, Loop Guru. Gamelan (Bali) juga yang mendominasi salah satu tonggak musik Indonesia: Guruh Gipsy, grup rock progresif 1970-an pimpinan Guruh Soekarno Putra dan beranggota antara lain Chrisye, Jocky S., Keenan Nasution, Fariz RM. Semua alumni Guruh Gipsy jadi tokoh penting penentu warna dan corak musik Indonesia pada 1980-an, dengan pengaruh yang masih terasa hingga kini.

Di sisi lain, gagasan dasar musikalitas Debussy setelah ia mendengar gamelan Jawa itu adalah “keterbukaan”,”intuitif”, dan “impresionisme”. Gagasan-gagasan ini kembali meruak dalam lanskap musik menjelang akhir millenium ke-2, lewat musik-musik ambient yang dipopularkan Brian Eno dan segerombol “seniman bunyi” beraliran musik yang dilabel macam-macam: environmental, deep listening, ambient techno, electronic, sound art, sound design, brainwave music, New Age, chill out, dsb., dsb.

Lain kali, kalau Anda ke lantai dugem, tenggelam dalam ekstase samudera bunyi yang dipaparkan para DJ, ingat-ingat bahwa Anda ada di sisi lain sebuah dunia bunyi yang sama dengan para penari Bedaya.***

 

Rekomendasi: Situs: untuk musik-musik ambient, electronic, dan semacamnya, silakan buka moteldemoka.com. Salah satu situs musik terbaik, lengkap dengan esai-esai pendek (seringkali puitis) pengiring daftar lagu, dan ilustrasi foto/lukisan yang oke.

 

Written by hikmatdarmawan

December 16, 2010 at 12:26 am

Posted in Uncategorized

TOP 13 SUPERHEROES THAT WILL BE GREAT AS PORN STUD (And It’s Not Superman)

with one comment

13. Animal Man
The name says it all: he’s an animal!

12. Dr. Manhattan
He’s cold, right. But he is willing, and able, to satisfy. And he’s blue. Don’t let Captain Kirk have all the fun –girls have the right too.

11. Aquaman
Like Namor, but blond. And he’s not cocky enough. I think his mixed origin makes him a little bit insecure. A major draw back for being a stud.

10. Major Bummer
The ultimate “Why-the-f*@k-do-I-care” stud.

9. Dr. Strange
Mature. Wise. And can make your fantasy happen.

8. Silver Surfer
Look, he IS a surfer. And you could have a cosmic orgasm.

7. Daredevil
He’s so goddamn sensitive!

6. Thor
Ocupation: freelance god, with beautiful blond hair. And Nordic.

5. Hawkeye
Always hit the right spot!
(Oliver Queen a.k.a. Green Arrow has potential. But he’s rather old. And he’s a goddamn socialist!)

4. Namor
Cool. Proud of his body. A prince. The ultimate fantasy object. Cocky as hell, but I’ll bet it’s because he got a good one –cock, I mean.

3. Batman
The stamina. The resourceful and imaginative moves. The gadget. And a flare of kinkiness too.

2. Wolverine
‘Nuff said.

1. Plastic Man
The elasticity alone would do it. The power to stretch at will? And he’s definitely a fun guy.

And why not Superman?

“Man of Steel”? Meh! It will be a punishment to have sex with this dude –and not in the good way. And lethal –as shown by “The Pro” (a comic by Garth Ennis & Amanda Conner –although, strictly speaking, it wasn’t Superman, but an “archetype” of “Superman” –but it does show you what happened when “Superman” ejaculate.). And he will not very imaginative either in bed.

Spiderman?
Too much jokes when he’s in costume, and too gloomy when he’s not.

Reed Richards/Mr. Fantastic?
Sure, he can stretch. But he always over think it.

Captain America?
Can you imagine feeling patriotic doing porn? It wouldn’t be… fun.

The Flash?
Forget it. No porn stud bragging about how “fast” he is.

Written by hikmatdarmawan

December 10, 2010 at 9:14 pm