But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

TIGA MIX-TAPE

leave a comment »

cassette art, by jess wilson. (jesswilson.co.uk)

cassette art, by jess wilson. (jesswilson.co.uk)

1985

Angkot biru ke arah Pondok Labu, dan radio di dashboard buluk, bersuara serak menggunting tak rapi selimut malam yang baru saja membungkus Pasar Minggu.

Engkau yang cantik, engkau yang manis, engkau yang manja


Selalu tersipu, rawan sikapmu di balik kemelutmu


Di remang kabutmu, di tabir mega-megamu


Ku melihat dua tangan di balik punggungmu

Satu orang penumpang, bapak kurus berkumis hampir Jampang duduk di kursi depan. Dua penumpang di belakang, selain aku, seorang pemuda kerempeng sepertinya mahasiswa (lengan kemejanya di linting sampai hampir ketiak, dua kancing atas dibiarkan terbuka, membawa dua buah buku bacaan tebal yang lecek), mukanya tampak bosan. Dan seorang lelaki berkopiah dengan wajah sepertinya selalu di ambang nyengir mengangguk-angguk mengikuti lagu yang telah kelamaan ngetop itu.

Aku yang paling kecil di angkot itu, jelas. Anak seusiaku, apalagi berkacamata cukup tebal (minus 3,5 kanan dan kiri) dengan bingkai kotak, kurus dan tirus, pantasnya sedang mengerjakan PR Matematika. Ini hari Minggu, besok adalah hari upacara. SMP-ku favorit di daerah Pasar Minggu. Artinya, peraturan sekolah yang galak. Dan, benar juga, ada PR Matematika. Terserahlah. Aku tak bisa berpikir.

Madu, di tangan kananmu. Racun, di tangan kirimu

Aku tak tahu mana yang akan kauberikan padaku

Madu, atau racun? Di benakku, aku menyanyikan bait itu untuk Reni. Sialan. Lagu Bill & Brod itu mulai masuk ke otakku. Aku penggemar musik hard rock, agak nista lah hapal, apalagi sampai merasa tersuarakan, oleh lagu itu. Tapi, ah, aku memang merasa lagu itu adalah perasaanku saat ini kepada Reni.

Dia manis. Reni. Dia bahkan cantik. Tapi, dia tak manja. Gadis berambut panjang, hingga bagian pantat lebih sedikit. Selalu dikuncir. Senyumnya menerbitkan lesung pipit. Dia tak manja, tapi dia bisa membuat bocah lelaki macamku merasa lelaki –ia gadis yang bisa kubayangkan sebagai perempuan. Hm. Apa sih, yang kupikirkan ini.

“Cilandak! Cilandak!” Sopir angkot berteriak, menawarkan jasa. Baru sampai SMA 28, angkot berjalan perlahan.

Reni adalah gadis pertama yang kuajak menonton. Betapa gemetar, waktu aku mengajaknya lewat telepon umum. Nonton film Witness, yang bintangnya Harrison Ford. Acara Prambors Putar Film di bioskop Kartika Chandra. Dengan merasa nekad, aku beli tiket di tempat jualan tiket Ibu Dibyo, Blok M. Tanpa tahu, apa Reni mau kuajak menonton. Ternyata dia mau, lepas dari suaraku yang sedikit gemetar sewaktu meneleponnya.

Lalu, aku jadi berani main ke rumahnya, beberapa kali. Termasuk tadi. Tapi, tadi, aku rada canggung. Reni yang manis. Kudengar dia dekat dengan temanku, Tedi. Waduh. Mana bisa aku bersaing dengan Tedi? Aku jadi kehilangan obrolan dengan Reni, mengingat kabar ini. Mau tanya, tapi tak berani. Kenapa aku tak berani? Ini Tedi. Dia gitaris rock, tampangnya kayak Amy Search.

Yang paling tak bisa kusaingi, dia anak yatim piatu, tinggal di Rumah Yatim di daerah Pasar Minggu, tak jauh dari rumah Reni. Mencari uang dengan main band di Ancol, dan membetulkan gitar listrik atau sistem suara buat panggung. Tapi, mengapa Reni kemarin-kemarin mau menerimaku bertamu, ngobrol berjam-jam? Apa dia sedang mempermainkanku? Tangan di belakang punggungnya, ada madu dan ada racun kah? Aku tak tahu mana yang akan kauberikan padaku….

Tapi radio serak itu sudah beralih ke lagu lain. Lagu Iwan Fals. 22 Januari. “Cilandak, Labu! Cilandak, Labu!” Seorang perempuan paruh baya naik. Sopir ikut menyanyi di bagian yang bagiku terasa sangat lelaki itu:

Jalan berdampingan

tak pernah ada tujuan

Apakah Reni pernah jalan tanpa tujuan dengan Tedi? Mungkin saja. Aku cemburu. Ini racun. Aku sesak napas. Aku ingin memegang tangan Reni, menggenggamnya lama-lama, sekali saja. Tidak cuma bicara-bicara. Apa yang dilakukan Reni dengan Tedi jika mereka berduaan? Aku sungguh kurang lelaki. Aku tak berani mengatakan perasaanku. Aku masih bocah, padahal aku banyak membaca bacaan dewasa.

Memangnya, apa perasaanku?

“Labu, Labu!” Sopir yang serak, menimpa radio serak yang sedang mengudarakan sapaan penyiar. Ada permintaan pendengar, kiriman lagu dari Dedi di Kalibata untuk Neti di Gang Klingkit, Saharjo, dengan ucapan, “kapan ke air terjun lagi?” Sudah sampai Cilandak Dua, sebentar lagi aku harus turun.

“Depot Es, Bang! Kiri!”

Aku turun. Membayarkan seratus rupiah, merasa wajib menerangkan, “Pelajar, Bang!” Aku masuk gang. Dekat rumah Pak Haji Sanih, yang punya warung nasi uduk dan depot es batu, Pak Joko dan Pak Warso sedang asyik mengobrol di bangku kayu warung. Pak Joko menyapaku, “Dari mana malem-malem…pacaran, ya?” Lalu ia ketawa. Aku cuma menggumam, “Ah, enggak, Om….” Pak Joko dan Pak Warso (dia marinir, hampir pensiun) lanjut ngobrol soal mayat yang diduga korban Petrus (Penembakan Misterius) di Ragunan kemarin malam.

Di rumah, hanya ada Mamah. Adikku, Rusdi, sedang menginap di rumah Uwak Dedi, di Jalan Radio Dalam, ingin bermain dengan para sepupu kami dari Uwak. Papap pasti sedang di rumah istri mudanya, di Condet. Ada kesepakatan diam-diam di rumahku, untuk pura-pura tak tahu bahwa Papap sudah kawin lagi. Mamah menyuruhku makan, dan mandi. Sayur bening pakai jagung manis, dengan lauk ikan tongkol balado. Aku makan, Mamah sholat. Aku malas mandi, jadi langsung ke kamarku (Papap mengontrak dua petak sekaligus jadi rumah kami), langsung masuk ke rutinku selama 2-3 bulan belakangan: melamun.

Radio kunyalakan. Radio yang tak akan memutar Madu & Racun. Sudah kubilang, seleraku hard rock. Sebetulnya, ya segala macam musik rock sih. Tapi, tak ada radio yang memutar musik rock jam segini. Harus pasang kaset di tape deck. Hanya, ini sudah malam. Dinding rumah petak kami batako yang kopong di tengah. Suara mudah melewati dinding, ke tetangga. Sebaliknya, tetangga pun jika sedang berisik menyetel kaset Eddy Silitonga atau Panbers atau, ya, Bill & Brod, akan merembes ke kamarku.

Pilihan kedua, putar radio. Musik pop Barat. Musik Jazzy Indonesia. Atau, diam-diam aku suka juga setel radio bermusik Adult Contemporary. Malam begini enak juga, tak perlu disetel kencang volume radio. Kalau sudah dini hari, dengar radio putar kelenengan wayang kulit juga senang. Malam ini, aku merasa lagu pop. Reni, bisa kuajak bicara apa saja. Waktu seperti terbang. Lalu, seluruh ekspresinya terbawa-bawa ke kamar ini. Aku coba membaca, apa saja yang terjangkau dari serakan buku, majalah, koran, komik, dan buku-buku gambar. Dan kaset-kaset.

Koran kemarin memuat berita tersangka pembom Borobudur. Ada yang bilang, itu terkait peristiwa Priok tahun lalu. Ada yang bilang, itu terkait dengan Revolusi Iran. Macam bahan cerita buat seri petualangan dari Bung Smas atau Jokolelono saja. Aku menelusuri huruf-huruf berita dengan malas. Aku tak hendak mengkhayal bertualang melawan penjahat. Aku ingin mengkhayalkan si manis Reni, tangannya seperti awan, menggamitku di tepi kali yang jernih. Ih. Bersentuhan dengan kulit perempuan selalu hal besar buatku. Aku belum menyentuh Reni. Baru berkhayal saja.

Apa Reni dan Tedi pernah bergenggaman tangan? Duh. Aku tak pernah nyaman bersaing. Apalagi soal beginian. Aku pasti kalah. Pasti. Tedi. Anak band. Anak yatim piatu. Macam tokoh di film roman saja, ia. Tapi, aku ingin menggenggam tangan Reni. Sekali saja. Kulihat koleksi kaset-kasetku. Ah, ya. Jika tak bisa bicara, kukirim saja pesan cintaku lewat lagu-lagu. Jelas aku kalah dalam soal musik dari Tedi. Aku cuma pendengar musik, dia pemain musik. Pemain.

Tapi, lewat musik, setidaknya perasaanku pada Reni bisa lebih berbunyi, ketimbang lewat kata-kata yang tak juga terucap. Aku bangkit dari kasurku yang kisut. Pukul 8.12. PR Matematika biarlah besok kusalin dari Anggia pas istirahat pertama. Atau, pas pelajaran Geografi, gurunya toh cuma gemar mencatatkan pelajaran di papan tulis untuk kami salin. Malam ini aku akan menyusun rekaman lagu-lagu untuk Reni. Kamis, sepulang sekolah, akan kubawa susunan itu ke Aldiron, minta direkamkan jadi kaset.

Aku jadi bersemangat. Aku menyusun lagu-lagu agar pas untuk kaset C-60, enam puluh menit. Biasanya dua belas lagu, pas. Enam sisi A, enam sisi B. Kira-kira begitu. Tak bisa kususun berdasarkan seleraku. Musti kubayangkan apa yang cocok bagi Reni, si manis si cantik. Lagu pop. Sesekali kusisipkan yang seleraku, lagu cinta dari grup rock. Yang Barat saja.

Karena sepertinya semua seluk beluk cinta sudah ada lagunya, aku tak pernah kekurangan lagu untuk menyusun perasaanku kepada Reni. Tapi, aku lebih dituntun oleh musik sebuah lagu, bukan oleh syairnya. Aku lamban untuk hafal syair lagu.

Baiklah. Riangnya cinta. Hasrat bercampur heran. Melayang. Berenang dalam perasaan. Banyak lagu bisa menggambarkan itu. Kenapa aku menulis Mermaid (Tatsuro Yamashita)? Bukannya Head Over Heels (Tears for Fears) saja yang lebih keren? Atau, lagu-lagu cinta yang gagah lainnya macam dari The Police atau Led Zeppelin, atau Without Your Love-nya Roger Daltrey. Eh, boleh juga, Daltrey. Mungkin juga Rod Stewart, First Cut is The Deepest? Hm. Kok pahit ya, judulnya. Aku membayangkan Reni. Dan Tedi. Baiklah, Rod Stewart masuk.

Tentu saja sebuah mixtape untuk mengungkapkan perasaanku pada Reni harus memuat Deborah dari Jon Anderson dan Vangelis. Bukan soal liriknya. Aku toh tak terlalu ngeh, atau perduli, apa liriknya. Musiknya yang kurasa mewakili cinta. Malam dengan gelembung sabun dan pelangi, ruangan dengan lagu itu akan terasa enteng, melayang.

Aku melayang. Menembus atap seng rumah petakku. Terus ke atas, panorama Cilandak yang sedang lelap. Tukang sekoteng lewat di gang depan rumahku. Malam memekat, bulan ngumpet di balik awan. Udara yang tipis. Aku seperti layangan tanpa benang, mencari-cari arah ke rumahnya. Lagu-lagu kenangan ayahku melintas. Melody Fair, Bee Gees. Atau In The Morning? Dan gambaran pagi kota modern di Inggris dalam film Melody. Tapi, ini malam, bukan pagi. Dan malam ini, aku suka seluruh lagu di album duet Barbara Streissand dan Barry Gibb. Streissand aroma Bee Gees era kiwari. Gitar listrik ringan, vokal falsetto lelaki brewok. Malam ini aku suka Run Wild.

I wandered into your wonderland

With eyes open wide

You turned me into your yesterday

Entah mengapa, aku yakin sekali bahwa aku tak akan bisa mendapatkan Reni.

1998

Mei

Aku terbangun mendadak di kamar kos dengan keringat kuyup. Jakarta sedang mimpi buruk. Aku tidur dengan berita penembakan mahasiswa Trisakti kemarin. Aku ingin menulis sesuatu, tapi kata-kata tak ada yang cukup. Insting wartawanku mengendus sesuatu yang mengerikan. Tapi, aku tak bisa mengikuti instingku itu jadi penyelidikan jurnalistik yang memadai, aku cuma wartawan kesenian.

Kesenian rasanya tak berguna dalam cekam ini. Semalaman Jakarta sudah diselimuti penantian yang cemas. Sesuatu akan terjadi. Perlahan, matahari yang merembes lewat jendela kos menjamah kesadaranku. Kulihat jam di dinding, pukul 10.16. Petak-petak kos terasa sunyi. Tak ada suara orang mandi, tak ada musik keroncong dari kamar Bachrul. Semua sudah berangkat kerja, atau mengajar, atau kuliah, agaknya.

Tita. Aku ingin sekali mengobrol lagi dengan Tita, walau semalam sudah menelponnya selama hampir satu jam. Satu jam hanya sebentar. Selama beberapa bulan ini, aku sering menelpon sampai dua atau tiga jam. Sekarang saat yang tepat ke telepon umum terdekat dari kos. Biasanya, kosong. Aku menggapai celana jeans-ku yang teronggok di lantai. Kurogoh kantong kanan dan kiri. Enam koin seratus rupiah, tujuh koin lima puluh rupiah. Cukuplah. Dan masih ada enam belas ribu rupiah, masih cukup juga untuk makan di warung Indomie sebelah telepon umum.

Aku cuci muka sebentar. Air terasa tiris di wajahku. Hampir pukul sebelas. Aku keluar pagar kos. Kugembok, soalnya sudah tak ada orang dari sepuluh kamar kos-kosan itu. Sepuluh kamar yang mengelilingi taman kecil, sekaligus tempat menjemur pakaian. Empat kamar mandi di luar kamar kos. Dua sudut untuk dapur bersama. Satu pagar tembok dengan pintu besi. Seperti penjara.

Di luar, matahari yang meninggi memijat dan mencubit kulitku. Kulewati warung rokok Mas Jo. Radio diputar keras, Mas Jo dan seorang pembeli yang duduk di bangku kayu tampak menyimak. Kudengar sekilas. Penyiar membahas penembakan mahasiswa Trisakti kemarin, sambil terasa takut-takut terbawa suasana jadi protes. Penyiar itu terasa agak terlalu berusaha agar semua pihak menenangkan diri.

Sampai ke telepon umum, segera kutekan nomor telepon rumah Tita. Tak ada jawaban. Dua kali aku mencoba. Hanya dengung teratur di telingaku yang berarti dering nun di ujung sana. Seorang bertampang mahasiswa berdiri di belakangku. Aku mulai gelisah. Ketika percobaan kedua tak disahut pula, aku menyisih dari telepon umum, dan ke warung mie instan. “Bang, rebus satu, ya. Rasa soto. Ya, pakai telor.” Semalam, Tita tak berkata akan pergi ke mana-mana. Ini bukan hari dia ke kampus. Kuperhatikan si tampang-mahasiswa masih menelepon.

Dua orang lain duduk di warung. Yang satu minum kopi, yang satu asyik makan gorengan. Bang Rosid pemilik warung menyiapkan mie instan rebusku sambil ngobrol dengan dua orang itu. “Saya denger tadi, udah ada yang rame-rame tuh. Pasar Minggu ada yang bikin rusuh. Lempar-lempar batu. Malah katanya sudah ada yang ngejarah. Ini, Bang,” Bang Rosid memberiku pesananku. “Katanya juga, tempat laen rusuh juga. Si Hamid bilang, di Jatinegara juga….”

Setelah tandas mie instan rebusku, aku mencoba lagi menelepon. Koin masuk, dengung nada panggil di telingaku. Tak juga ada jawaban. Aku matikan, ceklek, koinku keluar. Aku mondar-mandir dengan gelisah. Jam di warung tadi menunjuk pukul sebelas lebih dikit. Aku harus mencoba lagi.

Kali ini, dalam dengung nada panggil yang keempat, telepon di ujung sana segera diangkat. Bukan Tita. Ibunya, yang mengangkat teleponku. “Ke kampus, Tante? Oh, bukan yang Depok? Salemba? Dekat, ya, Tante. Saya nanti telepon lagi, boleh?”

Ada apa di Salemba? Aku bisa menduga ada apa di situ hari ini. Salemba masih jadi tempat simbolik perlawanan mahasiswa. Tapi, semalam, Tita tak berkata apa-apa soal akan pergi ke Salemba. Aku merasa harus menyegarkan diri. Aku berjalan ke kos, melewati warung Mas Jo. Penyiar yang cemas itu masih bersuara di radio Mas Jo, menyarankan agar semua pendengar selalu berhati-hati dan menahan diri. Di kos aku segera mandi, mengguyur perlahan kepalaku dengan air dingin.

Ya, aku cemas. Tita telah mengisi hari-hari sepiku dengan obrolan-obrolan menyenangkan. Dia tujuh tahun lebih muda dariku. Sangat belia. Tapi, dia mampu mengimbangiku dalam percakapan-percakapan panjang kami. Maaf saja, mungkin aku memang sedikit sombong dalam soal ini. Aku seorang penulis. (Aku lebih menganggap diriku sebagai seorang penulis, dan pekerjaan sebagai wartawan hanyalah alat bagiku untuk tetap menulis.) Boleh jadi, ini salah satu pekerjaan dengan risiko kesepian paling tinggi.

Salah satu sebabnya adalah, sukar bagi seorang penulis untuk bicara biasa-biasa saja. Bisa saja, tapi sukar –bicara hal-hal remeh seperti cuaca, harga-harga sayur, tagihan-tagihan, hasrat ingin membeli mobil merk terbaru, kisah perceraian bintang sinetron, banyak hal, bisa saja kuobrolkan, tapi selalu dengan sedikit rasa palsu. Lebih baik, menghindari percakapan sama sekali. Paling tidak, itu yang kurasakan.

Apa yang pernah dirasakan oleh para penulis modern sejak Sutan Takdir, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Seno Gumira Ajidarma, hingga Afrizal Malna, rasa asing di tengah masyarakatnya sendiri, ternyata karib juga kurasakan –aku, seorang penulis gurem yang hanya mampu jadi wartawan kesenian sebuah majalah nasional dengan oplag tak sampai 20 ribu tiap edisi.

Itulah mengapa ketika aku menemukan Tita, seorang mahasiswi jurusan Sastra Prancis, teman dari temanku (seorang perempuan berjilbab aktivis Islam kampus yang gemar bergaul dengan para senior), dan merasakan dia bisa diajak ngobrol apa saja tanpa jadi menjemukan, aku merasa senang sekali. Kami bisa bersama menertawakan dunia. Dalam tiris air kamar mandi yang mengguyur kepalaku, aku makin merasakan betapa berharganya obrolan-obrolan kami selama ini.

Sesudah segar, aku nyalakan televisi. Berita siang. Ada kerusuhan di beberapa tempat yang mulai terpantau. Aku harus menelpon Tita. Aku semakin mencemaskannya. Ke mana Tita?

Pertanyaan itu tak juga terjawab ketika aku menelepon rumah Tita lagi. Ibunya bilang, Tita belum pulang. Aku semakin gelisah. Kamar kos semakin terasa jadi penjara. Aku harus pergi. Ke mana? Ke Salemba? Apa bisa aku menemukan Tita dalam keramaian yang kuduga sedang terjadi? Atau… Ya, bagaimana jika aku ke radio Delta saja. Dekat Salemba. Seminggu sekali, aku siaran di situ, membicarakan kesenian Indonesia. Para penyiar dan awak radio itu praktis telah jadi temanku juga. Pukul satu lewat. Naik kereta, mungkin akan tiba di Cikini dalam waktu kurang lebih sejam.

Di stasiun UI, para calon penumpang ke arah Bogor tampak agak menumpuk. Tampak wajah-wajah mereka gelisah. Atau itu bayanganku saja? Pandanganku pada orang lain bukankah lebih sering cerminan perasaanku saja terhadap dunia? Yang ke arah Kota, agak lebih sepi. Hm. Apa itu, pengumuman di pengeras suara dari awak stasiun. Agak tak jelas. Ada kebakaran di Pasar Minggu? Di sekitarku, para calon penumpang yang menunggu kereta terdengar mendengung bercakap-cakap dan suara saling timpa, tak jelas di telingaku. Yang kurasa jelas, wajah-wajah yang tampak berubah cemas. Apa yang terjadi? Tita, apakah kau tak apa-apa?

Pengumuman lagi. Kereta ke arah Bogor akan tiba. Dan kulihat dari arah utara: kereta dengant tumpukan manusia di atapnya. Aneh. Ini bukan jam pulang kerja. Kenapa penuh sampai ke atas atap kereta? Makin dekat, nyatalah bahwa kereta bukan sekadar berisi penumpang biasa. Banyak dari mereka tampak sedikit kesurupan, berteriak-teriak, menunjuk-nunjuk para calon penumpang di peron. Banyak yang membawa barang-barang. Ada satu remaja botak dan dekil memegang sebuah sepeda gunung yang masih dalam plastik, tertawa-tawa dan berteriak, “Oy, ke Pasar Minggu sana! Niih…Niiih! Gue dapet ini!”

Lalu pengumuman lagi, seruan agar para penumpang menjaga ketertiban, dan kereta dari arah Bogor akan tiba sebentar lagi. Kedua kereta berpapasan, lalu kereta ke Kota berhenti. Aku naik gerbong keempat dari gerbong masinis. Para penumpang saling bicara, bertukar heran, kabar-kabar bersimpang-siur di udara, menggumpal dan memberai.

“Matahari kebakaran…”

“Yang di Pasar Minggu?”

“Di Jatinegara juga, katanya…”

“Cikini tuh, banyak yang bakar-bakaran…”

“Saya denger, Klender juga tuh, Pak….”

Kereta berjalan dengan memikul cemas. Stasiun Universitas Pancasila. Stasiun Lenteng Agung. Stasiun Tanjung Barat. Begitu kereta melintasi jalan Tanjung Barat menuju stasiun Pasar Minggu, tiba-tiba ada bunyi berderak. Sekali. Dua kali. Kami kaget. Ada jendela kereta yang retak kacanya. Kami segera merunduk ramai-ramai. Teriakan panik, seorang anak meletup tangisnya. Rupanya ada yang melempari kereta kami dengan batu atau entah apa. Di kanan dan di kiri. Ketegangan menjalar ke sekujur gerbong. Tapi kereta, syukurlah, tetap melaju.

Lalu, lajunya menjadi perlahan. Sebagian kami mengangkat kepala, melihat-lihat ke luar jendela. Stasiun Pasar Minggu? Udara yang panas tiba-tiba semakin menyesakkan. Seseorang menjerit. Beberapa orang menunjuk ke sebelah kiri. Perlahan, seperti adegan slow motion dalam film, kami melewati pemandangan yang menggetarkan: mal Matahari di Pasar Minggu terbakar. Asap hitam, panas bara, aroma kekerasan meruap mencemari oksigen yang kami hirup. Kereta tak berhenti, meneruskan laju secara perlahan.

Selepas stasiun, bahkan udara lebih panas lagi. Hatiku tercekat. Ada bangunan terbakar, dan apinya seakan bersiap menghadang kereta. Kereta terus melaju. Para penumpang merunduk di lantai kereta, tegang seakan sedang dalam perang. Ini memang perang. Walau pihak-pihaknya bagi kami, para penumpang kereta yang terjebak melintasi kerusuhan Jakarta, adalah siluman: tak jelas siapa, dan apa maunya –hanya mengancam, dan menakutkan. Kereta melintasi api. Beberapa penumpang menjerit, berteriak. Allahu Akbar, kata seseorang penuh perasaan.

Kereta lolos dari api. Dan melaju, stasiun demi stasiun. Ketegangan di gerbong mereda, tapi masih ada. Hingga aku turun di Cikini. Turun ke dari kereta, kulihat beberapa orang di stasiun memandang ke bawah, ke jalanan. Dari peron di tingkat dua stasiun Cikini, tampak suasana yang absurd tapi sekaligus masuk akal bagi Indonesia saat ini: suasana chaos, orang-orang menjarah, ada ban yang terbakar, sebuah kerusuhan sisa. Suasana kacau yang tak membuatku takut untuk turun ke jalan, lanjut ke studio radio Delta.

Di jalanan Cikini, suasana terasa semakin sureal. Penjarahan berlangsung dengan riang dan penuh tawa. Banyak ibu-ibu, agaknya dari kampung sekitar, datang bersama anak mereka, kelihatannya berdandan, seperti hendak datang ke sebuah acara alun-alun. Sebuah motor dikendarai oleh seorang lelaki, membawa (sepertinya) keluarganya, istri dan seorang anak perempuan, lalu berhenti di depan sebuah gedung apartemen dengan toko dan supermarket yang dijarah. Lalu keluarga di motor itu menonton penjarahan, seperti menonton pertunjukan.

Masuk ke jalan Borobudur, beberapa anak kampung berjalan membawa kursi dari McDonald. Dua orang anak, sambil cengar-cengir malah membawa meja putih bundar dari McDonald, digelindingkan sepanjang jalan seperti sedang bermain roda. Aku berjalan di antara para penjarah seperti hantu, seakan melayang.

Tita, di mana kamu?

Agustus

“Mau nginep lagi, Mas,” tanya Mas Anto, satpam radio tempatku kini menyambi bekerja sebagai perancang program. “Iya, Mas,” kataku.

Mas Anto tertawa ramah, dan kami mengobrol ngalor ngidul sejenak, tentang Mbak Retno, penyiar senior kami, yang tadi siang marah-marah karena ada penggemar yang sudah jadi penguntit lolos dari halangan satpam dan sempat menjumpai Mbak Retno. Tentang Habibie yang ngomong-nya lucu, dengan mata bulat mendelik-delik. (“Tapi, dia ngomooong melulu, ya, Mas,” kata Mas Anto.) Tentang Amin Rais. Tentang IMF, bagaimana urusannya. Tentang Timor Timur. Tentang Mas Jan, direktur kami yang baik, tapi tak mau menaikkan gaji.

Lalu, Mas Anto meninggalkan ruang studio. Sudah lebih dari setengah jam berlalu dari tengah malam. Aku menginap tak sepenuhnya buat bekerja. Aku ingin menyusun mix-tape untuk Tita. Sudah sedikit tersusun di kepalaku, daftar lagu-lagunya. Kupilihkan dari koleksi radio ini. Banyak vinyl dan kaset lawas masih terpelihara baik di sini. Alat perekam pun kelas satu. Aku bisa membuat banyak mix-tape. Malam ini, satu saja.

Aku ingin menyatakan perasaanku pada Tita. Sejak mix-tape yang kubuat untuk Reni dulu, sewaktu SMP dulu (aku selalu sedikit tersenyum jika benakku mengenang Reni), aku seperti mentradisikan mix-tape sebagai pernyataan cintaku. Sejak Reni, tak sering aku menyusun mix-tape cinta. Aku memang jarang melakukan langkah lanjut untuk menyatakan cintaku. Aku memang mudah jatuh cinta. Tapi, jatuh cinta itu murah. Mencintai, itulah yang susah.

Mei lalu, mataku tiba-tiba terbuka. Sejak kerusuhan itu, aku jadi sadar bahwa Tita bukan teman biasa. Aku ternyata tak bisa kehilangan dia. Ketika di tengah kerusuhan itu aku merasa dunia sedang jungkir balik, aku merasa, siapakah yang kuinginkan berada di sisiku ketika dunia runtuh? Ternyata, aku ingin sekali Tita di sampingku. Pikiran bahwa waktu itu Tita mungkin celaka, sungguh membuatku merana. Ini memang klise. Jatuh cinta dan bahkan mencintai yang kuanggap musykil itu, memang sebetulnya hal yang biasa saja.

Baiklah. Aku harus selesai merekam mix-tape buat Tita sebelum subuh tiba. Susunan lagu harus terasa imbang antara mood yang ringan dan yang sedikit berat. Jangan blues amat, aku toh hendak menyampaikan harapan. Kurasa, aku tak bisa membuka kaset ini dengan When It Hurts So Bad-nya Lauryn Hill. Itu lebih cocok di tengah. Juga Adam Ant, Wonderful, sebaiknya dipasang sesudah suasana sudah meningkat. Apalagi Head Over Heels-nya Tears for Fears.

Apakah sebuah lagu Style Council untuk pembuka Side A? Aku masih bimbang apakah akan memilih Shout to The Top atau My Ever Changing Mood versi akustik piano. Lirik yang pertama tak mencerminkan soal cinta kepada perempuan, tapi musiknya menggambarkan kegirangan perasaanku setiap habis bertemu Tita. Tapi, lagu kedua, sungguh lembut. Menyiratkan perasaan yang lebih dalam.

Atau kubuka dengan lagu Fariz RM saja, Selangkah Ke Seberang, ya? Hm. Tidak juga sih. Begitu juga lagu Chrisye yang kuinginkan untuk mix-tape ini, Lestariku. Versi album Percik Pesona lebih pas kurasa, musiknya, untuk Tita. Tentang Kita dari KLA Project harus di tengah sih. Begitu juga When I’m Thinking About You dari The Sundays. Tapi, penutup untuk Side B, sudah kupastikan: You and Me Song, The Wannadies.

Kurang lebih tiga jam aku mengutak-atik susunan lagu untuk kaset C-60 yang akan jadi keramat bagiku. Merekamnya satu-satu. Aku juga sudah membayangkan bagaimana sampulnya. Sedikit desain pakai komputer, sepulang ke kos nanti. Subuh hampir mampir di luar sana. Aku lelah. Kupejamkan mata sejenak.

Aku sungguh ingin tumbuh tua bersama Tita.

2015

 Zaman sekarang, mudah saja membuat mix-tape. Istilah itu sendiri jadi terasa agak dibuat-buat. Mediumnya pun bukan “tape” lagi, bukan kaset lagi. Umumnya, orang bikin mix-tape sekarang menggunakan file berjenis mp3. Lalu dicetak ke keping CD atau DVD. Atau langsung saja dialihkan ke i-Pod atau MP3 Player. Atau dipasang saja di situs yang sering kugunakan, 8tracks.com. Jumlah lagu bisa ratusan, tapi jadi kurang tajam untuk mengungkapkan perasaanku.

Ah, perasaan. Perasaan apa? Kulihat jam di ponselku, pukul 7.16 malam. Nanda sudah memberi pesan lewat Whatsapp, dia akan terlambat. Mataku menerawang ke sekeliling kafe ini. Suasana agak vintage Jakarta era 1960-1970-an, sebuah klise komodifikasi ceruk pasar hipster di Jakarta. Apalagi kafe ini membanggakan menu kopi khususnya. Tak apalah. Kucoba sedikit memberi kesan bahwa aku paham trend gaya hidup terkini, waktu aku mengusulkan tempat ini kepada Nanda untuk kencan ketiga ini.

Ah, Nanda agak kurang suka dengan istilah seperti “kencan”. Dia lebih suka istilah “ta’aruf“. Oke. Dia teman sekelasku sewaktu kelas tiga SMP, dan juga satu SMA denganku. Tapi, dulu, kami tak pernah dekat. Nanda Arianti adalah salah satu kembang sekolah. Hidung bangir, mata ndelak ndelok dengan bulu mata lentik sekali, salah satu langganan juara kelas. Aku tak pernah menaruh hati padanya. Aku selalu merasa bahwa jatuh cinta pada perempuan yang terlalu cantik itu klise. Kecantikan seringkali menghalangiku melihat isi si perempuan.

Mungkin karena aku dulu memang selalu cenderung minder, sehingga kecantikan yang terlalu kuat selalu menggangguku untuk bisa menyelami para perempuan cantik itu dengan wajar. Oh, aku selalu bisa ngobrol dengan para perempuan cantik. Tapi, jatuh cinta? Aku lebih suka yang manis-manis macam Reni. Ah, Reni. Cintaku hanya sebatas mix-tape. Sesudah kuberikan, aku malah mundur teratur. Mungkin sedikit terbirit. Persaingan terlalu musykil buatku. Urusan cinta, aku sukar mengendalikan diri. Pikiranku selalu kacau jika sedang jatuh cinta. Diriku sewaktu SMP dulu, mana mampu mengatasi kekacauan itu.

Dan kini, aku terdampar di kafe hipster ini, menanti Nanda. Puji Tuhan, internet mampu membuka banyak kemungkinan. Teman-teman yang dulu tak terlacak, tiba-tiba nongol begitu saja di media sosial, lalu tahu-tahu nyambung ke ponsel lewat aplikasi-aplikasi komunikasi yang sungguh membikin kecanduan. Nanda tahu-tahu muncul di timeline Facebook-ku. Makin cantik. Kematangan perempuan, kadang bisa sangat mengagumkan. Kami seusia, 45. Dia janda cerai. Aku juga, telah cerai.

Sejak perpisahanku dengan Tita sembilan tahun lalu, aku beberapa kali mencintai perempuan. Sekali aku menjalin hubungan yang dalam, empat tahun kira-kira. Putus. Seperti ada lubang hitam di dalam jiwaku sejak itu. Aku kadung mencandu jatuh cinta, tapi perlahan aku curiga bahwa aku sebetulnya telah agak merasa sia-sia jika hendak mencintai lagi dalam-dalam seorang perempuan. Atau takut? Entahlah. Mungkin.

Tahun ini, aku berpikir sungguh-sungguh tentang usiaku. Waktu yang semakin terasa terlalu cepat berlari. Aku belum punya anak. Aku ingin punya anak. Sudahkah terlambat? Nanda janda yang matang, cantik nian, dan punya dua orang anak remaja. Dari obrolan kencan (ah, maaf, ta’aruf) kedua minggu lalu, Nanda masih membuka kemungkinan punya bayi lagi. Kalau sudah tak bisa melahirkan sendiri, dia berpikir mengangkat anak, begitu katanya sambil membetulkan jilbabnya.

Aku sedang mencoba keluar dari wilayah nyamanku dalam soal cinta. Membidik Nanda, dan mencoba tak berhitung dalam-dalam soal perasaan. Nanda jelas sedang mencari suami lagi. Aku mencoba lebih berhitung segi kepraktisan jika kami memang akhirnya berpasangan. Kepraktisan dalam memenuhi keinginanku punya anak, maksudku. Dari segi ini, Nanda sungguh prospek yang baik sekali. Walau, dunia kami berbeda cukup jauh.

Yang mencolok, soal keagamaan. Nanda gemar mengutip Felix Siauw, ustadz muda yang gemar berjualan ajakan Khilafah Islamiyah dan beberapa kali menampakkan sikap yang bisa dianggap misoginis. Waduh. Dinding Facebook Nanda penuh kata motivasi dari beberapa ustadz televisi yang saat ini sedang popular. Dobel waduh-ku.

Tapi, aku merem saja deh. Mungkin pengetahuan agamaku sebagai mantan aktivis dakwah sewaktu SMA dan kini jadi penulis dan aktivis kesenian, bisa perlahan melunakkan Nanda. Bukankah jika sudah jadi istri, Nanda percaya bahwa dia harus sepenuhnya menuruti suami? Aku tertawa dalam hati. Ini bukan pikiran-pikiran orang yang sedang jatuh cinta.

Aku memang belum jatuh cinta pada Nanda. Aku ingin mencari istri lagi. Maka, malam ini, aku bersiap melangkah lebih jauh dengan Nanda. Aku telah membawa mix-tape yang kurekam di DVD, sampulnya telah kurancang agar memikat Nanda. Ini mix-tape yang sungguh menantang. Bagaimana seseorang yang sangat religius macam Nanda, bisa kurayu dengan sekumpulan musik? Ya, Nanda tak mengharamkan musik. Dia gemar banyak lagu pop dari dalam dan luar negeri. Tapi, aku kan hendak merayunya?

Aku ingin membuat dia terkesan, bahwa aku adalah seorang yang punya religiositas tersendiri. Maka demikianlah, aku merasa harus menyusun album musik religius yang lain dari yang lain! Bukan berisi nasyid, bukan dipenuhi oleh lagu Ebiet dan Bimbo, atau Maher Zein.

Kubuka mix-tape “Islami” ini dengan lagu Alhamdulillah dari musisi hiphop Malaysia, Too Phat, yang juga menampilkan suara Dian Sastro membaca sebuah sajak religius. Ada dua belas lagu. Kusertakan lagu dari Pandai Besi, Debu-Debu Berterbangan. Juga dari Kantata Takwa, Paman Doblang. Juga lagu Iwan Fals dari album Hijau, hanya dicantum berjudul Lagu Satu. Dalam kepalaku, lagu itu terdengar.

Berlomba kita dengan sang waktu

Jenuhkah kita jawab sang waktu

Bangkitlah kita tunggu sang waktu

Tenanglah kita menjawab waktu

Suara Iwan Fals dalam benakku, bersaing dengan suara Bruno Marz menggenangi kafe yang gayeng borjuis ini. Deraan Sang Waktukah yang menyebabkan aku merasa harus buru-buru menyusun mix-tape ini dan hendak memberikannya kepada Nanda malam ini? Kecemasan bahwa waktuku tinggal sedikit lagi?

Hidupku berkelebat, sejenak. Cukup membuat ada yang sedikit nyeri di salah satu ceruk dadaku –sebuah tempat imajiner bagi sesuatu yang secara agak aneh disebut “hati” dalam bahasa Indonesia. Walau ceruk itu imajiner, rasa sakit itu cukup nyata bagiku. Waktu demi waktu telah berlari dalam hidupku. Cinta demi cinta lepas dari jemari tanganku. Sebersit gelisah merayapi gumpalan lunak otakku.

“Assalamu ‘alaykum! Kok melamun begitu?”

Nanda. Sungguh cantik, dia. Apakah aku bisa bahagia dengannya?

Tiba-tiba aku ragu, apakah aku akan memberikan mix-tape di dalam tas ranselku ini kepada Nanda. ***

Jakarta, Juni-Juli 2015

Written by hikmatdarmawan

July 19, 2015 at 9:59 am

Posted in cerpen

Tagged with , , ,

Leave a comment