But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

Posts Tagged ‘penonton

DYLAN, ALLEN, DAN PENONTON: Sebuah Surat

with one comment

Dylan Farrow, photo by Frances Silver

Dylan Farrow, photo by Frances Silver

Dear Dylan Farrow,

Saya tak hendak meragukan pengakuanmu. Di luar kapasitas saya yang tak cukup secara hukum untuk bisa menentukan apakah pencabulan Woody Allen padamu sejak kau berusia tujuh tahun adalah benar atau tidak, saya akan menerima pengakuanmu sebagai kebenaran. Ada sesuatu dalam suratmu yang membuat saya percaya. (Walau, tentu, selalu ada ruang bahwa saya salah.)

Saya pernah dekat dengan seorang korban perkosaan ayahnya saat usia kecil. Perkosaan itu berlangsung bertahun-tahun. Perasaan dan kebingungan perempuan yang pernah dekat dengan saya itu saat kecil dan mengalami horor tersebut mirip dengan yang kautulis di surat terbukamu itu, Dylan. Maka, saya mengutuk Woody Allen sebagai manusia laknat! Saya pernah melihat relung hati seorang korban sepertimu, dan itu adalah horor tak terperi: tak seorang manusia pun boleh mengalami itu.

Tapi, suratmu menohok, Dylan, saat kau membuka dan menutupnya dengan pertanyaan: apa film Woody Allen favoritmu?

Pertanyaan itu menusukkan rasa bersalah pada puluhan tahun penikmatan film-film Woody Allen. Sejak awal karirnya di televisi dan teater pada 1950-an hingga kini, Allen adalah seorang sutradara dan penulis yang prolifik. Sejak 1980-an, ia telah jadi lembaga dalam kebudayaan dan perfilman Amerika. Pertanyaan “apa film Woody Allen favoritmu?” untuk sekian lama adalah sebuah pertanyaan lazim dalam lingkaran pergaulan budaya di Amerika. Semacam tes kepribadian, menguji kau orang macam apa, berdasarkan film Woody Allen yang kausuka.

Kau sepenuhnya berhak menusukkan pertanyaan itu ke kami semua, para penonton film Allen. Pertanyaan yang berkembang jadi sebuah dilema moral dan estetika. Jika seseorang adalah pribadi yang telah melakukan kejahatan yang kelam, patutkah kita menyukai karya-karyanya? Dan, jika ia adalah seorang yang jahat, apakah karya-karyanya masih memiliki integritas?

Ini bukan soal sederhana, ternyata. Paling tidak, buat saya pribadi. Klise “Pengarang Sudah Mati” terasa tak memadai. Kepribadian Allen dalam film-filmnya termasuk salah satu yang paling kuat mencuat dalam sejarah film Amerika. Saat saya menjadikan berbagai unsur dalam film-film Allen (khususnya, dialog dan ide-idenya) sebagai bagian dari sejarah pemikiran saya pribadi, saya telah mengambil sekeping Allen untuk membentuk hidup saya. Bagi saya, film-film Allen nyaris mustahil dilepaskan dari Allen-nya sebagai “Sang Pengarang” –sebuah kemusykilan yang nyaris omong kosong.

Yang membuat saya “selamat” dari kesan bahwa saya adalah partisipan tak langsung kejahatan seksual Woody Allen jika saya masih menyimpan film-film Allen sebagai bagian positif dalam diri saya adalah satu hal: saya menyukai film-film Allen sejak sebelum kejahatan seksual itu terjadi.  Kejahatan itu dituduhkan terjadi pada 1992, saat kau berusia 7 tahun. Film-film Allen yang saya puja (Manhattan, Annie Hall, Interiors, dsb.) dibuat sebelum itu.

Lantas, bagaimana dengan film-film Allen, sesudah tuduhan itu terjadi? Saya, misalnya, sangat menyukai Matchpoint, Vicky Christina Barcelona, dan Midnight in Paris. Terhadap itu, saya memang terkena dosa abai.

Saya sama sekali tak ngeh bahwa kejahatan pencabulan yang dituduhkan kepada Allen adalah kejahatan padamu, Dylan. Saya pikir, segala keramaian itu hanya pada kasus Allen dan Soon-Yi Previn. Dalam kasus itu, saya melihat bahwa hubungan mereka adalah antara ayah tiri dan anak adopsi yang masih remaja. Dan akhirnya, mereka toh menikah. Tak genah, memang. Tapi juga tak sangat laknat, kalau dipikir-pikir.

Tapi, kalau pun saya ngeh kasus kamu, Dylan, nun jauh di Amerika sana, apakah saya akan pasti tak menyukai film-film itu? Haruskah? Yang mungkin terjadi, jika saya ngeh kasusmu, Dylan, adalah saya enggan menonton film-film Allen sesudah 1992. Tapi, apakah itu berarti film-film Allen tak mungkin lagi punya mutu, tak layak ditonton dengan sendirinya, setelah apa yang ia perbuat padamu?

Saya mungkin terlanjur menyukai film-film Allen. Saya terlanjur ikut dibentuk oleh ide-ide Allen tentang dunia dan manusia. Tentu, saya punya pikiran mandiri. Saya tak pernah memuja sepenuhnya Woody Allen. Tapi saya tak bisa menampik bahwa dia –ah, ya, karya-karyanya– penting buat saya.

Sebab, saya hanyalah penonton. Sedang yang kaualami berada di ruang-ruang gelap yang jauh dari jangkauan penonton. Woody Allen mungkin telah melakukan tipuan besar yang menyebalkan: menuntun saya, dan para penonton filmnya, ke sebuah dunia pandang yang mengasyikkan, sementara menempatkanmu di tempat gelap yang tak bisa kami pandang secara langsung.

Tempat gelap yang membuat di dunia terang lelampuan media, kau dinyatakan telah berbohong pada waktu itu. Setidaknya, dicurigai punya kenangan semu (false memory) –bahkan ada yang menuduh bahwa kenangan semu itu ditanamkan oleh ibumu, Mia Farrow, yang meminta pisah dengan Woody Allen setelah menemukan foto-foto telanjang Soon-yi jepretan Allen.

Nicholas Kristoff, kolumnis New York Times, mengutip ucapanmu:

“I know it’s ‘he said, she said,’ ” Dylan told me. “But, to me, it’s black and white, because I was there.”

Tapi, apa yang bisa saya lakukan, Dylan?

Saya tak di sana. Saya tak bisa sepenuhnya hitam putih. Saya tak bisa begitu saja membatalkan kesukaan saya pada film-film Allen, betapa pun saya mengutuknya. Saya bahkan merasa tak bisa begitu saja merasa bersalah karena telah menikmati film-film itu. Saya dipaksa membelah diri. Saya terpaksa mengambil ide yang rapuh itu: bahwa, pada akhirnya, film hanyalah film.

Bahwa pada akhirnya, saya hanyalah seorang penonton. Seorang penonton yang belum menemukan cara lebih baik untuk bisa mendamaikan relasi musykil antara Seniman-Karya-Penikmat.

Bahwa semoga doaku padamu cukup, agar kau tetap kuat setelah semua ini. Doa seorang yang tak mengenalmu, seseorang yang jauh dan tak relevan buatmu.

Maafkan saya, Dylan. ***

Written by hikmatdarmawan

February 2, 2014 at 9:27 pm