But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

Posts Tagged ‘sapardi djoko damono

YANG LISAN, YANG LIYAN

with one comment

#Arsip Ulasan saya atas novel Hujan Bulan Junikarya Sapardi Djoko Damono. Dimuat di majalah Tempo edisi 10 Agustus 2015. Saya unggah di sini, yang belum diedit oleh redaksi, semata karena memang ini file yang saya punya. Silakan menikmati.

Foto diambil dari astrikusuma.com.

Foto diambil dari astrikusuma.com.

Hujan Bulan Juni: Novel, Karya: Sapardi Djoko Damono, Penerbit: Gramedia, 2015

Salah satu puisi yang sangat popular beralihwahana jadi novel. Sebuah pergulatan bahasa yang cukup mengesankan.

Penyair Sapardi Djoko Damano agaknya setabah hujan dalam puisinya yang terkenal itu. Setidaknya, dalam menghasilkan novel ini, sang penyair mendada dua keadaan yang sekilas tampak berada di luar wilayah nyamannya sebagai seorang penyair senior.

Pertama, novel Hujan Bulan Juni ini terjun bebas dan mungkin setengah nekad masuk ke pusaran deras bahasa lisan zaman kini yang pathing seliwer dengan bahasa slang dan alay yang pakemnya bergonta-ganti dengan cepat, serba-pesan teks (texting) dari gawai ke gawai, percakapan-percakapan gaduh di media elektronik dan media sosial, serta kepercayaan yang makin lama makin menjauh dari kata menuju permainan simbol-simbol visual macam emoticon dan meme.

Kedua, novel ini juga mencoba menyelami alam pikir zaman sekarang, khususnya kalangan mudanya. Sarwono, tokoh utama novel ini, adalah dosen muda Antropologi UI yang sering diledek “zadul” atau “zaman dulu” oleh Pingkan, pacarnya (ah, tak jelas benar apa betul ia “pacar” Sarwono, walau polah mereka jelas “pacaran” dan malah mau menikah segala). Pada Pingkan lah, sudut pandang dunia muda itu diwujudkan oleh novel ini.

Untuk soal kedua, soal gambaran “dunia muda”, Sapardi memanfaatkan benar keleluasaan novel untuk mencipta dunia rekaan yang pas dengan maksud sang pencipta/pengarang. Dalam perkembangan penulisan fiksi sekarang, tak penting benar kesesuaian mutlak dunia rekaan dengan dunia faktual di luar sebuah karangan. Apakah benar, atau benarkah nyata, dunia anak muda yang pembaca temui sehari-hari sama seperti gambaran dunia Pingkan dalam novel ini? Tak penting.

Yang penting adalah apakah sang pengarang mampu menggambarkan dunia rekaannya dengan tuntas, dan logis di dalam dirinya sendiri. Sapardi memilih cara membangun ketuntasan dunia Hujan Bulan Juni bukan bertumpu pada plot, adegan, atau deskripsi dunia eksterior yang detail, melainkan pada kelincahan petualangan interior atau pergolakan batin para tokohnya. Dengan kata lain, Sarwono adalah tokoh yang lebih banyak bertanya-tanya, berpikir, sibuk menanggapi kejadian-kejadian di luar dirinya atau yang menimpa dirinya secara internal.

Tak ada kejadian luar biasa dalam novel ini. Atau, novel ini memperlakukan berbagai kejadian penting dalam hidup tokohnya sebagai biasa-biasa saja. Bukan berarti Sarwono, Pingkan, serta tokoh-tokoh pelengkap lain dalam cerita ini, cuma sibuk melamun saja di dalam kamar. Mereka aktif. Sarwono peneliti yang andal, berbulan-bulan pergi ke Timur Indonesia untuk penelitian Antropologi. Pingkan pun aktif, juga dalam berhubungan dengan lelaki. Malah gadis campuran Menado-Solo itu seakan jadi perebutan cinta di Solo, Jakarta, Manado, Kyoto. Mereka juga aktif bercakap, lewat lisan, lewat khayalan, lewat pesan-pesan WA (Whatsapp, aplikasi komunikasi gratis yang popular di ponsel).

Demikianlah, maka dunia Hujan Bulan Juni adalah dunia persilangan kata –yang diucapkan atau yang dipikirkan para tokohnya, yang terlintas pada diri para tokohnya atau pun yang memintas sebagai suara narator entah siapa yang di beberapa bagian nyelonong saja. Maka, di sinilah kita gamblang melihat penghadapan sang pengarang dengan soal pertama di atas: sebuah dunia babel digital, dunia kelisanan sekunder sebagaimana pernah ditulis oleh Sapardi dalam buku esainya yang sangat penting, Alih Wahana (Editum, edisi revisi, 2014).

Sapardi (2014) mengurai tentang dunia kelisanan primer dan kelisanan sekunder. Kelisanan primer ada ketika zaman manusia berbahasa lisan tanpa terikat pada tulisan. Kelisanan sekunder terjadi ketika dunia bahasa sudah terpaku pada keaksaraan, pada dunia tulisan. Tapi, meminjam sedikit dari Marshall McLuhan, Sapardi menekankan bahwa di masa bangkitnya media elektronik, kelisanan sekunder menjadi langgam komunikasi yang semakin utama.

Dalam kasus Indonesia, terjadi kemusykilan bahasawi yang menghadang para pengampu budaya tulisan –termasuk pengarang novel dan penyair modern kita. Saat ini, kita mengalami masa ketika bahasa lndonesia yang dipraktikkan secara lisan dalam masyarakat kita seakan berjalan semakin jauh dari bahasa tulisannya. Malah, yang kita lihat dalam novel-novel remaja, chic-lit, dan metro-pop, bahasa tulisan fiksi arusutama kita kini tunduk patuh pada yang lisan.

Bayangkan dilema pengarang kita sekarang yang hendak menjunjung bahasa Indonesia yang baik: rentan sekali ia dituduh berbahasa “kaku” dan “tak sesuai kenyataan”. Pernah ada siasat seperti yang tampak dengan mahir digunakan oleh SM. Ardan pada 1960-1970-an untuk menangkap otentisitas kelisanan masyarakat Betawi dalam cerpen-cerpennya: menjaga narasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan membiarkan dialog-dialog dalam bahasa Betawi “jalanan”. Kini, siasat macam itu seperti tak dianggap memadai lagi oleh penerbit dan editor novel-novel popular kita.

Di dunia fiksi popular kita saat ini, tulisan lah yang tampak lebih banyak terikat oleh kelisanan. Dan Sapardi, terasa benar lewat novel ini, mencoba menanggapi kemusykilan itu dengan tanpa penghakiman dan angkuh. Ia lebih mencoba menjadi setabah, sebijak, dan searif hujan dalam puisi terkenalnya itu dalam menghadapi kemusykilan itu.

Novel Hujan Bulan Juni merengkuh saja kata-kata lisan yang biasa diucap dalam keseharian WA dan ngobrol kita saat ini. Sapardi menjajarkan begitu saja kosa kata slang, campuran bahasa asing, dengan khasanah kata dalam dunia tulisan yang telah lama jadi bahan kepenyairannya. Dengan rendah hati, dengan kehendak memahami. Novel ini tak berat hati membaur ungkapan seperti “Garing banget” atau “Aku crop nanti” dalam aliran naratifnya.

Aneka bahasa hadir selayak dunia lisan sejati Indonesia kita masa kini: bahasa slang, bahasa Inggris-campuran-Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Menado, bahasa resmi, bahasa ledekan, rujukan-rujukan budaya pop (seperti Shrek atau selfie), semua setara, semua (dianggap) bermakna. Yang manis gombal dan yang cendekia memikir budaya, sama saja tempatnya di novel ini.

Di beberapa tempat, sang penyair menyatakan diri lewat litentia poetica-nya: tiba-tiba saja, misalnya, di halaman 44-45 dan 124-125, narasi menggumamkan kata demi kata dalam kalimat demi kalimat tanpa titik tanpa koma dan memuncak di ujung-ujung paragraf. Kadang, bahasa percakapan sehari-hari menyeberang begitu saja jadi bahasa dongeng (halaman 52-55).

Novel ini semacam peta kata yang berkerumuk, rekaman sebuah pikiran yang cemas dan dikerubuti keberlimpahan rujukan dari seluruh penjuru dunia, yang menyamar sebagai sebuah cerita yang enteng dan cengeng. Dalam kerumuk dan cemas itu, sebuah motif berulang. Sarwono selalu risau oleh kenyataan liyan. Pingkan adalah liyan (“the other“) karena dia Solo sekaligus Menado, sekaligus bukan-Solo dan bukan-Menado. Begitu juga ibu Pingkan, begitu juga ternyata ayah Pingkan.

Lalu Pingkan ke Kyoto, menikmati sajian dunia liyan sebagai liyan. Apakah di zaman sirkulasi orang, barang, dan gagasan secara global begitu mudahnya, kita menjadi begitu mudah pula saling me-liyan-kan orang lain? Sarwono lebih ajeg sebagai orang Jawa, tapi pun ia tak lagi yakin akan apa itu “Jawa”. Ia memelajari budaya liyan di seluruh pelosok Indonesia. Ia sendiri pun, yang mengimani puisi, sering merasa diri liyan. Apakah ini dunia kita kini? Kita saling me-liyan-kan, sehingga kita selalu berisiko saling mengasingkan? Apakah lantas cinta adalah jawaban? Atau persoalan?

Novel ini agaknya tak hendak memecahkan persoalan-persoalan itu dengan tuntas. Ada memang sebuah iman pada puisi, seperti tampak dengan wagu dinarasikan Sarwono, di bagian awal novel ini. Puisi pun jadi klimaks novel Hujan Bulan Juni. Paling tidak, puisi tak sekadar diletakkan di ujung cerita, tapi juga diperlakukan sebagai sebuah puncak cerita. Seakan sebuah pernyataan dari sang pengarang, bahwa setelah ia berupaya memahami gebalau bahasa zaman kini, ia akhirnya menyimpul bahwa pada puisi lah bahasa-bahasa akan pulang.

Mungkin pula novel ini menyiratkan, tanpa menyuratkan, bahwa dalam puisi, sebuah Diri tak perlu lagi merisaukan takdir liyannya. Dalam puisi, cinta yang selalu wagu dan cemas akan menemukan pengungkapan finalnya. Dalam puisi, yang lisan dan yang liyan tak perlu dirisaukan lagi. Ini, sekali lagi, semacam iman. Ini pula yang membuat novel ini rentan menjadi liyan dalam dunia literasi Indonesia masa kini.

Misalkan novel ini dianggap gagal sebagai novel, ia mengandung kegagalan-kegagalan yang menarik. ***

Written by hikmatdarmawan

September 5, 2015 at 7:06 pm

MENCARI CERITA, MENCARI BANGSA, MENCARI CINTA (3)

leave a comment »

(Bagian ketiga dari repost Orasi Budaya saya di panggung Eksotika Karmawibhangga, sebagai hadiah kecil saya untuk teman-teman PLOTPOINT yang sedang mencanang motto: Kita Bercerita. Apa Ceritamu?)

Sapardi Djoko Damono (diambil dari cabiklunik.com)

Sapardi Djoko Damono (diambil dari cabiklunik.com)

 

3

Saudara-saudara,

Bung Karno adalah pendongeng yang hebat. Ia mendongengkan bangsa dan banyak orang terpukau dan tergerak. Ia mendongengkan kisah bahwa ia bertemu seorang petani yang baginya menggambarkan sosok “orang Indonesia” yang sesungguhnya, lalu ia bertanya siapa nama petani itu, dan dalam dongeng itu sang petani mengaku bernama Marhaen, dan lahirlah sebuah ajaran yang diikuti secara fanatik oleh para pengikut Bung Karno, bernama ajaran Marhaenisme. Ia juga mendongengkan jembatan emas yang dibangun oleh Ibn Saud dalam semalam dan oleh Lenin di sebuah negara raksasa bernama Rusia. Ia berhasil menggerakkan orang untuk membangun jembatan itu. Jembatan emas, katanya, jembatan emas kemerdekaan.

Kita adalah generasi yang lahir di seberang jembatan itu. Kita membutuhkan cerita baru. Walau kita, secara fardhu kifayah, masih harus mempelajari Pustaka Raja Purwa, misalnya, tapi kita harus menuliskan babad kita sendiri. Karena segala pengalaman kita hidup dengan tiran demi tiran, tiran besar dan tiran kecil, tiran lokal maupun tiran nasional, mungkin babad yang akan lahir dari generasi kita adalah Pustaka Tiran Purwa.

Kita perlu cerita baru. Kita perlu cermin baru, yang dapat membuat kita mengaca diri, mematut diri, tanpa melenceng dari apa adanya kita. Saya mencari cerita karena ingin mencari bangsa.

 

4

Saudara-saudara, untuk apakah kita berbangsa?

Buat saya, bangsa tercipta agar kita dapat saling mencintai sesama manusia. Bangsa-bangsa tercipta agar kita dapat mencintai orang lain, orang-orang di luar wilayah hidup kita sehari-hari, orang-orang asing. Bangsa-bangsa tercipta agar tak ada lagi orang asing, yang ada hanyalah orang yang berbeda, dan kita bisa mencintai keberbedaan itu. Seperti Al Qur’an bilang, diciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbeda-beda bahasa, agar saling mengenal.

Agar saling mengenal.

Ingatkah Anda ketika pertamakali mengenal kekasih Anda? Mungkin saja mulanya semua terasa biasa saja. Seorang asing yang biasa-biasa saja, tak penting. Tapi ada sesuatu yang membuat si orang asing itu mendekam dalam kenangan, menjadi istimewa bersama waktu. Lalu Anda berjumpa kembali dengannya, barangkali tak sengaja. Tapi perjumpaan kedua terasa lebih istimewa. Anda mulai memerhatikan hal-hal kecil tapi menonjol pada dirinya. Tawanya. Kecepatannya menangkap dan membalikkan bola gurauan Anda. Kecerdasannya. Gerak-gerik tangannya yang kadang seperti anak kecil. Anda mulai tertarik. Ketika Anda berpisah dengannya, Anda mulai merasakan sebuah kehilangan kecil, kehilangan yang mudah saja obatnya: Anda meneleponnya, berbicara berlama-lama dengannya. Perjumpaan-perjumpaan selanjutnya terjadi karena Anda menginginkannya. Semakin banyak dari dirinya yang terungkap pada Anda, sebagaimana Anda juga mengungkapkan diri Anda semakin banyak kepadanya. Kalian menjadi lebih saling mengenal. Anda tahu mimpi-mimpinya, kesukaan-kesukaannya, pikiran-pikiran terdalamnya, kecemasan-kecemasannya, juga keburukan-keburukannya. Sebagaimana ia Anda biarkan menyelami mimpi-mimpi Anda, kesukaan-kesukaan Anda, pikiran-pikiran terdalam Anda, kecemasan-kecemasan Anda, juga keburukan-keburukan Anda. Tanpa sadar Anda telah mencintainya. Tanpa sadar Anda semakin tak bisa kehilangan dirinya. Tanpa sadar, entah mulai kapan dan di mana, Anda tak lagi satu dan utuh, tapi tinggal separuh, dan separuh lain dari Anda adalah dirinya, sang kekasih. Anda mencintainya, dan karena itu Anda menjadi lebih dari sekedar diri Anda biasanya. Anda menjadi transenden.

Saling mengenal adalah sesuatu yang indah, sebuah paradoks yang indah. Orang-orang tak mungkin saling mengenal, dan kemudian saling jatuh cinta, jika orang-orang tidak saling berbeda. Tanpa keberbedaan, tak mungkin kita ingin saling mengenal. Justru karena keberbedaan, kita bisa saling mengenal dan berkata, eh, ternyata di balik keberbedaan, kita sama juga. Lalu kita saling jatuh cinta. Tentu saja mencintai kekasih berbeda dengan mencintai orang lain dalam naungan kubah makna bernama bangsa, tapi semua itu cinta juga, sesuatu yang bermula dari keinginan saling mengenal dan saling menerima, sesuatu yang menjadi mungkin karena adanya keberbedaan.

Saling mengenal adalah sesuatu yang indah, karena begitu banyak kemungkinan yang indah terbuka ketika dua orang asing menjadi saling mengenal. Rumi berkenalan dengan seorang asing bernama Syams dari Tabriz, dan hidupnya berubah selamanya: ia jadi sufi pencinta yang dengan berani membayangkan Tuhan bukan sebagai Maha Penguasa atau Maha Pembalas, melainkan sebagai Maha Keindahan. Kita tak pernah tahu orang asing manakah yang begitu kita sambut kehadirannya, kita simak pikiran-pikirannya yang sekilas mungkin tampak aneh dan berbahaya, ternyata akan mengubah persepsi kita akan dunia.

Muhammad Assad terpikat oleh kesederhanaan berpikir seorang Beduin tua dalam sebuah gerbong kereta yang melintasi tanah Arabia. Orang Beduin tua yang sama sekali asing itu, yang sama sekali tak mengerti bahasa Assad atau bahasa apapun di luar bahasanya sendiri, menawarkan separuh roti miliknya kepada Assad. Ketika Assad heran kenapa sang Beduin tua mau membagi separuh bekalnya, lewat bahasa isyarat sang Beduin tua menyampaikan pikirannya, yang kira-kira adalah, bukankah kita sedang berada di gerbong yang sama, dalam perjalanan yang sama? Maka apa yang mesti diherani kalau saya berbagi separuh roti saya? Berbangsa galibnya adalah demikian: berada dalam gerbong yang sama, kereta yang sama, dalam suatu perjalanan yang sama. Bahasa, motif, mimpi, pikiran yang berkecamuk serta tujuan akhir masing-masing orang dalam gerbong dan perjalanan yang sama itu pastilah berbeda-beda; tapi selama kita berada dalam sebuah gerbong yang sama, dalam sebuah perjalanan yang sama, kenapa kita tak berbagi separuh roti milik kita?

Kita adalah generasi yang lahir, hidup dan bercinta di seberang jembatan emas bung Karno. Sebagian besar lahir tanpa mengalami kemelut revolusi Indonesia sebagai sebuah negara baru. Sebagian lain lahir tanpa mengalami hingar bingar politik masa demokrasi terpimpin, hingar “1000 slogan dan 0 puisi”, seperti pernah dicatat Goenawan Mohamad. Sebagian lahir tanpa mengalami kemelut peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Soeharto, dari Orla ke Orba, di tahun 1965. Sebagian lain lahir tanpa mengalami kemelut Malari. Bahkan mungkin ada juga yang lahir tanpa pernah mengalami kemelut Asas Tunggal di tahun 1980-an. Kita adalah generasi yang mewarisi cerita-cerita tentang badai demi badai di masa lalu. Kadang kita tak mendengar cerita-cerita itu. Kadang kita melupakan mereka. Tapi kini kita sedang menghadapi badai kita sendiri. Badai yang sedemikian dahsyatnya sehingga bahkan makna kata “kita” dalam keseluruhan orasi ini sedang dihajar angin puting beliung, dan terancam terbang entah kemana.

Dalam suasana demikian, saya akan mengakhiri orasi ini dengan mengajak Anda untuk menyimak sebuah lagu yang saya persembahkan sebagai lagu cinta terhadap negeri. Waktu saya kecil dulu, di sekolah, saya diajari lagu cinta untuk negeri hanya sebatas lagu kebangsaan dan sekian paket “lagu wajib”. Banyak dari lagu wajib itu yang bagus, tapi pada saat saya dewasa terasa arkaik atau lugu, kurang memuaskan rasa kebangsaan saya (kalau sedang ada rasa kebangsaan itu). Belakangan ini banyak juga yang menyanyikan lagu Gombloh, Kebyar Kebyar untuk menyatakan cinta kepada negeri. Atau lagu Jangan Menangis Indonesia dari Harry Roesli. Lagu-lagu cinta untuk negeri biasanya dibuat menggelora atau khusyu’. Tapi malam ini saya ingin mempersembahkan sebuah lagu cinta biasa sebagai lagu cinta untuk negeri, untuk bangsa. Lagu ini biasa dinyanyikan mahasiswa untuk menggombali pacar mereka, atau dinyanyikan di pesta pernikahan. Lagu ini berasal dari sebuah puisi yang banyak sekali dikutip orang untuk menggombali kekasih mereka. “Editan” puisi itu, atau lebih tepat mutilasi puisi itu, pernah dibacakan Bella Saphira dalam sebuah sinetronnya. Malam ini saya persembahkan lagu gombal ini kepada Indonesia. Lagu Aku Ingin dari puisi Sapardi Djoko Damono.

 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

Terimakasih, selamat malam, dan pulanglah dengan cinta.

 

Written by hikmatdarmawan

December 8, 2012 at 12:49 pm