But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

Posts Tagged ‘will eisner

NOVEL GRAFIS, APAAN SIH? (Bagian 1)

with 21 comments

(Petikan dari naskah buku saya, yang mengulas tentang novel grafis dan berbagai kemungkinan estetis dan industrialnya. Masih saya tuliskan.)

Pertanyaan yang sering diajukan pada saya[1] adalah: “apakah beda novel grafis dan komik biasa?”

Semakin hari, semakin saya butuh jeda sejenak untuk menjawab pertanyaan ini. Di satu sisi, pikiran saya otomatis berkata: tentu saja novel grafis adalah komik juga. Di sisi lain, di kepala saya berseliweran berbagai fakta yang semakin hari semakin gemuk dan bulat: bahwa istilah “komik” sudah terlalu lama mengalami peyorasi (penurunan nilai) dan memang ada kebutuhan untuk sebuah istilah yang lebih bergengsi untuk medium jadah ini; bahwa dalam kenyataan, karya-karya “novel grafis” memang beda dengan “komik biasa” –tapi apa tepatnya perbedaan itu?; bahwa sampai kini pun istilah ini masih “kontroversial”, namun jelas bermanfaat dari segi industri dan “dakwah komik”.

Memang dibutuhkan sebuah jawaban yang utuh dan lengkap untuk pertanyaan di atas, yang mencakup dimensi estetis, historis, bahkan filosofis. Jawaban utuh itulah yang hendak saya coba kemukakan dalam buku ini.

Awal kelahiran: kontroversi pertama

Banyak yang menabal karya Will Eisner, A Contract With God (1978), sebagai “novel grafis” pertama. Stephen Weiner, dalam Faster Than a Speeding Bullet: The Rise of the Graphic Novel, menulis[2]:

“Novel grafis” modern pertama ditulis dan digambar oleh seorang kartunis veteran, Wil Eisner, yang melahirkan istlah ini saat mencoba membujuk redaksi di Bantam Books untuk menerbitkan sebuah buku komik yang ditulis setebal buku lazimnya.

Pandangan ini menjadi pandangan resmi atau mainstream sejarah komik di Amerika. Majalah Time, baik dalam edisi cetak maupun dalam edisi on line[3], termasuk yang meyakini hal ini. Dalam Time edisi on line itu pula (berkatilah internet!) masuk tanggapan dari sejarawan komik R.C. Harvey yang menyebutkan bahwa Will Eisner bukanlah orang pertama yang menggunakan istilah “novel grafis”. Lebih dari itu, menurut Harvey, cetakan pertama A Contract With God sama sekali tidak mencantumkan sebutan “novel grafis” di cover maupun dalam pengantar. Menurut Harvey, setelah 1978, istilah “novel grafis” mulai banyak dipakai dan barulah dalam cetakan selanjutnya istilah itu dilekatkan pada buku tersebut. Jadi, menurut Harvey, kehadiran A Contract With God bukanlah penanda kelahiran novel grafis.

Lebih jauh lagi, Harvey menerangkan, istilah ini pertama kali digunakan oleh Richard Kyle pada November 1964, dalam sebuah newsletter yang diedarkan pada para anggota Amateur Press Association. Dan saat pertama sebuah komik panjang diidentifikasi sebagai “novel grafis” adalah pada 1976, ketika terbit Beyond Time and Again karya George Metzger, yang mencantumkan istilah ini pada halaman judul dan bagian lipat sampul bukunya.

Pengulas komik majalah Time, Andrew Arnold, mengakui fakta sejarah itu, tapi kukuh menetapkan karya Eisner itu sebagai novel grafis pertama. Setelah mengonfirmasi dengan Eisner, memang kata “novel grafis” tidak dicantumkan di edisi pertama, yang merupakan edisi hard cover. Tapi kata ini dicantumkan dalam edisi soft cover, yang terbit pada 1978 juga. Jadi dari segi waktu, memang tepat bahwa kata “novel grafis” dilekatkan pada tahun penerbitan pertama karya tersebut.

Di samping itu, Eisner mengakui pada Time bahwa ia bukanlah yang pertama menciptakan istilah maupun format novel grafis. Ini sejalan dengan uraian tentang novel-novel grafis Eisner dalam The Will Eisner Companion:

“Eisner memopulerkan istilah “novel grafis” ketika berusaha menarik minat redaksi di Bantam Books kepada proyeknya (membuat komik berbentuk buku untuk orang dewasa) beberapa tahun sebelum (1978). Redaksi Bantam menolak, tapi istilah itu terus melekat.”[4]

Namun Eisner berkata, “Saya tak bisa mengklaim bahwa saya yang menciptakan novel grafis, tapi saya rasa waktu itu saya sedang berada dalam posisi mengubah arah komik.” Menurut Arnold lebih lanjut, dalam responnya itu terhadap e-mail Harvey, karya Eisner itu diterbitkan di luar sistem komik (Amerika) yang telah ada, dan jelas merupakan comix pertama yang dengan sadar beraspirasi mencapai status sastrawi. Dengan mencantumkan istilah “novel grafis” di sampul depan, Eisner telah mengkristalkan konsep “novel grafis”.

Kalau saja para penulis bule itu menengok wacana komik Indonesia (yang, harus diakui, memang minim!), mereka mungkin akan tertarik pada sebuah fakta yang diangkat oleh Seno Gumira Ajidarma[5]: tujuh tahun sebelum A Contract with God, Teguh Santosa sudah menyebutkan komiknya, Mat Romeo (1971), sebagai “novel bergambar”.

Seno jelas memadankan istilah Teguh itu dengan istilah “novel grafis” ala Eisner. Penelaahan lebih mendalam akan menunjukkan keberbedaan dua istilah itu, tapi sementara ini cukuplah kita berhenti pada fakta menarik ini untuk sekadar menggambarkan betapa kelahiran istilah ini memang tak jelas. Ini berpengaruh pada peneguhan soal manakah novel grafis pertama?

Lebih-lebih, beberapa pengamat menyebutkan karya-karya yang jauh lebih lampau sebagai “novel grafis” juga. Misalnya, Stan Tychinski menyebut komik yang oleh sebagian sejarawan komik dianggap komik pertama di Amerika, sebuah terjemahan karya komikus Swedia Rudolphe Töpffer, Adventures of Obadiah Oldbuck (1842), sebagai novel grafis pertama.[6]

Stan juga merangkum album-album komik di Eropa mulai seri Tintin sejak judul pertama, Tintin in The Land of The Soviets (1930), sebagai novel grafis juga. Tepatnya, Stan menyebut komik tersebut sebagai “album grafis yang pertama”, tapi ini dalam naungan bahasan tentang sejarah novel grafis.[7] Stan juga memasukkan kebanyakan manga, sejak karya pertama Osamu Tezuka yang dianggap sebagai karya manga modern pertama, Treasure Island, dalam cakupan tema novel grafis.

Kontroversi ini bertambah dengan lema “graphic novel” dalam The Encyclopedia of Fantasy yang ditulis oleh Clute & Grant. Dalam keterangan untuk lema ini, Clute & Grant membedakan antara istilah dengan kenyataan historis format novel grafis. Istilah novel grafis, menurut dugaan mereka, lahir pada awal 1970-an. Namun dalam sejarah seni rupa dan komik, ada beberapa eksperimen yang layak dirujuk sebagai bagian dari kelahiran novel grafis. Yang utama, terbitnya “novel” dalam gambar-gambar cukil kayu karya Lynd Ward: God’s Man (1930).[8] Karya ini hakikatnya adalah sebuah karya grafis, namun secara nyata adalah merupakan novel karena berisi sebuah cerita panjang. Karya ini juga disebut-sebut oleh Will Eisner dalam bukunya, Graphic Story Telling.

Pangkal kesimpangsiuran asal-usul ini tentu saja berakar pada kekaburan definisi “novel grafis”. Kebanyakan tulisan yang mengulas novel grafis menggunakan begitu saja istilah ini sebagai sebuah konsep siap pakai.[9] Kalaupun ada beberapa yang mencoba membatasi pengertian “novel grafis”, definisi yang diberikan teramat umum dan memancing kontroversi lanjutan. Walau begitu, kita perlu menyusuri masalah ini untuk tiba pada pengertian yang bisa kita anggap paling menggambarkan hakikat “novel grafis” ini.

“Novel grafis adalah …”

Menurut R.C. Harvey, ketika istilah ini pertama kali digunakan oleh Richard Kyle, pada 1964, maknanya adalah:

…A long form of comic book.

Buku komik berformat panjang.

Kata “panjang” di sini merujuk pada jumlah halaman yang tebal, dan bukan ukuran fisik komik tersebut. Makna ini pulalah yang dimaksud oleh George Metzger ketika mencantumkan istilah itu dalam karyanya, Beyond Time and Again. Dalam makna ini, lanjut Harvey, ada beberapa karya komik/grafis yang memenuhi pengertian tersebut sebelum Eisner menerbitkan A Contract With God, seperti: He Done Her Wrong karya Milt Gross pada 1930, dan His Name Is …Savage karya Gil Kane dan Archie Goodwin pada 1968. Untuk karya Kane & Goodwin itu, Harvey menambahi embel-embel deskripsi “a book length comic” (sebuah komik setebal buku). Maknanya tentu sama dengan “a long form comic book” tadi.

Di sini harus kita pahami konteks Amerika dalam definisi ini, khususnya yang menyangkut istilah “buku” dalam menyebut komik. Standar industri komik Amerika memang diawali dengan sebuah kerancuan.

Pada mulanya, sejak komik strip pertama di Amerika, Yellow Kid (1895) karya Richard F. Outcault, komik hanya tampil sebagai bagian dari koran atau majalah. Dalam koran, komik bisa jadi mendapat halaman khusus, tapi komik tak pernah disajikan ke publik dalam bentuk terbitan khusus komik. Sampai pada 1934, Max C. Gaines punya ide cemerlang untuk mengumpulkan komik-komik strip yang sudah terbit dan punya banyak penggemar di koran ke dalam sebuah terbitan khusus dalam format khusus pula. Terobosan itu bertajuk Famous Funnies, diterbitkan oleh Eastern Color.

Sebetulnya, pada 1929, penerbit Dell sempat meluncurkan tabloid komik yang juga memuat komik-komik strip yang telah populer. Percobaan ini gagal di pasaran karena masyarakat rupanya tak mau membayar sesuatu yang mereka anggap mestinya diberikan gratis bersama koran yang mereka beli. Kecemerlangan Max Gaines terletak pada pilihan format fisik. Famous Funnies dicetak sebesar seperempat halaman komik di koran (kira-kira 10 ½ X 7 inci), kebanyakan halamannya berwarna, dan harganya bisa ditekan hanya 10 sen. Format ini kemudian praktis menjadi standar komik Amerika.

Famous Funnies disebut buku komik (comic book), dan ternyata laku keras. Revolusi media ini berlanjut dengan terbitnya New Comics (National Allied Publishing) pada 1935, yang menerbitkan komik-komik (strip) yang belum pernah diterbitkan di tempat lain. Komik, dengan demikian, hadir sebagai media mandiri kepada publik Amerika –tak terikat lagi dengan industri koran atau majalah. Sukses kedua seri ini menumbuhkan banyak terbitan serupa di Amerika: format fisik serupa, dan selalu merupakan antologi. Rata-rata setebal 64-84 halaman.

Pada masa awal ini, istilah “buku” mungkin masih tepat untuk komik-komik tersebut, kecuali bahwa berbagai antologi itu diterbitkan secara berkala (biasanya bulanan) dan terbit dengan nomor urut, seperti majalah. Dan memang, kemudian berkala-berkala komik itu menjadi semakin seperti majalah dari segi tercakupnya iklan dan surat pembaca. Namun, komik dalam format ini tetap disebut “buku komik”.

Format ini menjadi semakin “aneh” ketika biaya produksi meningkat. Para penerbit komik tak memilih jalan seperti majalah-majalah umumnya, yakni menaikkan harga dan mempertahankan jumlah halaman serta mutu cetakan. Berkala-berkala komik itu dipertahankan harganya, tapi halamannya dikurangi. Hal ini lebih menjauhkan format terbitan komik tersebut dari kategori “majalah”, dan sebutan yang dipertahankan tetaplah “buku komik”.

Pada 1952, penerbit William Gaines (anak Max Gaines) dan editor/komikus Harvey Kurtzman, menerbitkan antologi humor-parodi MAD. Di samping antologi komik humor ini, Gaines dan Kurtzman juga terkenal lewat komik-komik horor, crime stories, serta komik perang yang terbit dalam bendera EC Comics yang merajai pasar komik Amerika pada saat itu. Daya tarik utama komik-komik EC adalah sifat subversif mereka, serta keberanian menampilkan tema-tema maupun visualisasi yang “dewasa”, termasuk dalam berkala MAD. Justru daya tarik inilah yang kemudian membuat EC Comics jadi sasaran pemberantasan komik yang dipicu oleh buku Frederic Wertham, Seduction of Innocent (1954).

EC Comics terpukul telak, khususnya ketika komunitas komik –demi dapat bertahan tetap terbit—membentuk asosiasi yang menerapkan sensor ketat agar komik-komik tak lagi “membahayakan anak-anak”. Sensor ini memberi sangsi: komik yang tak mencantumkan label CCA (Comic Codes Approval) tak boleh diedarkan di rak-rak komik di seluruh negeri. William Gaines melawan ini dengan jenius, lewat MAD: ia memutuskan untuk tak memakai CCA, tapi lantas menerbitkan MAD sebagai majalah dan dijual di kios-kios majalah. Di satu sisi, MAD bisa menghindari sensor ketat CCA; di sisi lain, MAD justru tumbuh jadi salah satu majalah komik tersukses di Amerika karena masuk ke mainstream penerbitan dan tak terbatas di industri komik.

Sisi lain lagi: makin terbedakan antara “majalah komik” dan “buku komik”. MAD adalah “majalah”. Tapi Action Comics, misalnya, walau terbit bulanan dengan nomor urut dan menyertakan iklan serta surat pembaca, tetap disebut “buku”. Seiring makin tipisnya berkala komik yang terbit di Amerika (pada 1970-an hingga kini, standar utama adalah setebal 32 halaman –biasanya terdiri 22-24 halaman cerita dan sisanya untuk iklan atau surat pembaca), maka bayangan orang Amerika tentang “buku komik” adalah komik-komik tipis (yang hakikatnya majalah) tersebut. Lama-lama, antara lain seiring semakin khususnya dan sempitnya jalur distribusi komik di Amerika, orang pun semakin membedakan antara “komik” dengan “buku”.

Dalam situasi tersebut, tak heran jika komik berjumlah halaman banyak adalah sebuah keistimewaan atau keanehan di Amerika. Apalagi jika komik tersebut bukan hanya tebal, tapi tak mengikuti standar halaman yang pasti. Misalnya, cukup banyak sebenarnya komik tebal dalam ukuran standar penerbitan komik Amerika, seperti 72 atau 96 halaman –tapi mereka lebih sering disebut “special edition”, “double sized edition”, atau (kalau kertasnya luks macam art paper) “prestige format”. Komik yang tebalnya lebih bergantung pada selesainya cerita, kemudian, disebut “book-length comic”.

Persis dalam pengertian itulah novel grafis pada mulanya –“komik yang setebal buku”. Tapi apakah pengertian ini cukup? Perlu digarisbawahi juga bahwa tersirat dalam pengertian-pengertian awal ini adalah adanya sebuah cerita panjang di dalam novel grafis. Antologi cerita komik pendek, dengan demikian, tak termasuk ke dalam sebutan “novel grafis”. Walau dari semula hingga kini praktis tak ada kesepakatan tentang berapa halamankah agar sebuah komik dihitung “tebal”, namun standar 22, 24, atau 32 halaman dianggap masih cerita pendek.

Definisi lain adalah dari Stephen Weiner[10], yang mengartikan novel grafis sebagai:

…book-length comic books that are meant to be read as one story.

Buku-buku komik yang setebal buku, yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai sebuah cerita.

Dalam definisi ini, Weiner menyertakan pengertian awal novel grafis yang berhubungan dengan panjang cerita atau tebal halaman. Lagi-lagi sebuah ukuran yang tak pasti digunakan, yakni “setebal buku”. Cara pemakaian istilah “buku” dan “buku komik” itu juga tampak bermasalah. Seakan-akan buku komik adalah bukan buku, mereka berbeda, tapi bergabung pengertian dalam format novel grafis. Agaknya Weiner pertimbangan pragmatis sangat kuat dalam definisi ini: Weiner merasa tak perlu untuk terlalu menyoal salah kaprah historis di balik kata “buku komik” di Amerika seperti yang telah kita bahas di atas.

Keistimewaan definisi Weiner sendiri terletak pada pengimbuhan batasan “dimaksudkan untuk dibaca sebagai sebuah cerita”. Ini tentu berhubungan dengan kata “novel” dalam istilah novel grafis. Pengertian novel dalam ilmu sastra memang lebih dari sekadar “cerita panjang” atau bukan “cerita pendek”. Pemenang hadiah Nobel untuk sastra pada 2001, V.S. Naipaul, menulis dalam Finding The Centre bahwa penulisan novel adalah pencarian sebuah pusat.[11] Novel adalah cerita panjang yang mengandung sebuah pusat, dan dari pusat itu terbangunlah sebuah semesta cerita, sebuah jalinan kejadian yang secara keseluruhan membentuk sebuah kebulatan. (Kita akan membahas soal ini lebih dalam pada bab 5.)

Uniknya, A Contract With God sendiri secara wadag bukanlah satu buah cerita, tapi empat cerita pendek. Mengapakah karya ini tak disebut sebagai “cerpen”, tapi “novel (grafis)”? Mungkin saja Eisner sekadar ingin menarik perhatian. Karya ini adalah sebuah penyimpangan dalam tradisi komik Amerika, dan Eisner menyodorkan penyimpangan ini ke penerbit umum –menandakan ia memang ingin karyanya menyempal dari sistem komik yang ada di Amerika saat itu. Eisner butuh istilah yang catchy (enak didengar dan menarik perhatian), serta mampu membuat komik “aneh” ini diterima oleh publik umum komik maupun nonkomik. Maka istilah “novel grafis” lah yang dipakai, ketimbang, misalnya, “kumpulan cerpen grafis”.

Perkara novel kok terdiri dari empat cerpen, mari kita tengok khasanah sastra (tulis) sejenak. Dalam sastra, memang dikenal beberapa eksperimen dalam novel. Kita tengok lagi Naipaul. Novel, dalam uraian Naipaul tadi, adalah buku fiksi yang memiliki sebuah pusat. Dalam novel “biasa”, pusat itu adalah inti cerita dari tokoh utama. Misalnya, nasib tokoh utama dalam sebuah persoalan besar (bisa persoalan cinta, politik, agama, apa saja). Namun Naipaul rupanya tak membatasi pusat tersebut hanya sebatas pengertian itu, ia juga mencakupkan tema sebagai pusat.

Sehingga, bisa jadi ada beberapa cerita yang tampak tak saling berkaitan (tokoh-tokohnya beda, jalinan cerita setiap kisah tak saling berkait, dunia yang ditempati cerita tak berkait juga, dan sebagainya), namun dipadukan menjadi sebuah novel. Demikianlah, Finding The Centre terdiri dari dua kisah: kisah ayah Naipaul sebagai jurnalis di kampung halaman Naipaul, dan kisah perjalanan Naipaul ke Afrika. Eksperimen lebih lanjut ia lakukan dalam novel lain, In A Free State di mana novel ini terdiri dari beberapa cerita pendek dan novela yang tak saling berhubungan, tapi semua diikat oleh sebuah tema yang sama: kemerdekaan negara bangsa.

Eksperimen serupa juga dilakukan oleh Milan Kundera dalam novelnya, The Book of Laughter and Forgetting. Novel ini terdiri dari beberapa kisah yang tak saling berkaitan (kecuali dua kisah yang menggunakan tokoh yang sama), tapi semua berkisah tentang tawa dan lupa. Dalam salah satu bagian novel, Kundera menulis dalam bentuk esai yang dinarasikan oleh Sang Pengarang, dan berbicara panjang lebar tentang variasi dalam komposisi musik. Sebuah komposisi terdiri dari serangkaian melodi dasar, melodi itu bisa dimainkan sang musisi secara berulang dalam cara berlain-lainan –itulah makna “variasi” dalam musik. Sering, hasil variasi itu sudah tak terdengar mirip lagi dengan komposisi awal, tapi dasarnya sebenarnya sama. Dalam esai ini, Kundera sedang membicarakan novelnya sendiri –setiap bagian adalah sebuah variasi atas tema tawa dan lupa.

Maka memang dimungkinkan sebuah novel mengambil bentuk seperti sebuah kumpulan cerpen. Dan demikianlah yang terjadi dengan A Contract With God. Eisner sedang mengolah empat variasi dari tema ketakberdayaan dan kedaifan manusia di hadapan Sang Nasib. Karya ini memiliki sebuah pusat, dan karenanya keempat cerita pendek ini menjadi bulat sebagai sebuah novel –novel grafis.

Di sini kita berjumpa dengan sebuah persoalan sastrawi yang cukup canggih, mencakup persoalan form (bentuk, format) dan isi atau tema. Cukup canggih, khususnya karena ini terjadi di wilayah komik Amerika yang selama berpuluh-puluh tahun terperangkap dalam keharusan menjadi bacaan anak dan remaja. Eisner memang ingin sekali bercerita tentang masalah-masalah “dewasa” dan sejak membuat komik di era 1940-an, Eisner percaya bahwa komik mampu menampung tema-tema dewasa itu.

Bahkan memang kedewasaan itulah yang menurut Eisner menjadi ciri pembeda antara komik biasa dan novel grafis:

“Aku duduk dan mencoba mengerjakan sebuah buku yang secara fisik tampak seperti buku yang ‘absah’ dan pada saat sama mencoba menulis tentang sebuah persoalan yang tak pernah dibahas dalam format komik…”[12]

Dalam wawancara dengan Time pada 1993, Eisner meratapi posisi hibrid karyanya:

“Adalah sukar menulis tentang patah hati dan menjualnya kepada seorang anak 15 tahun yang hanya ingin membaca tentang dua mutan yang saling hantam.”[13]

….BERSAMBUNG


[1] Misalnya dalam sebuah wawancara dengan seorang reporter Kompas, untuk artikel mereka, Novel Grafis: Upaya Meraih Pasar dengan Format Baru dan Novel Grafis: Komik atau Sastra?, dalam Kompas, Sabtu 15 Oktober 2005, halaman 44-45.

[2] Stephen Weiner, Faster Than a Speeding Bullet: The Rise of the Graphic Novel, NBM Publication, New York, 2003, halaman 17.

[3] Andrew Arnold, The Graphic Novel Silver Anniversary, TIME.comix.

[4] N.C. Couch & Stephen Weiner, The Will Eisner Companion, The Pioneering Spirit of The Father of The Graphic Novel, DC Comics, New York, 2004, halaman 107.

[5] Seno Gumira Ajidarma, “Sastra Film” dalam Komik Teguh Santosa, dalam Seni Komik Teguh Santosa, Retrospeksi 1965-2000, Galang Press, 2000.

[6] Stan Tychinski, A Brief History of the Graphic Novel, dalam Brodart.com.

[7] Idem.

[8] John Clute & John Grant, The Encyclopedia of Fantasy, Orbit, London, 1999.

[9] Contoh paling menyolok adalah karya Roger Sabin, Comics, Comix, and Graphic Novels, A History of Comic Art. Walau jelas buku tersebut menyebutkan istilah graphic novels atau novel grafis di sampulnya, tak ada satu pun definisi novel grafis di situ.

[10] Stephen Weiner, idem, halaman xi.

[11] V.S. Naipaul, Finding The Centre: Two Narratives, André Deutsch, 1984.

[12] Dalam Andrew Arnold, idem.

[13] Margot Hornblower, Beyond Mickey Mouse, dalam Time, 1 November 1993.

Written by hikmatdarmawan

February 15, 2010 at 12:56 pm