But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

NOVEL GRAFIS, APAAN SIH? (Bagian 1)

with 21 comments

(Petikan dari naskah buku saya, yang mengulas tentang novel grafis dan berbagai kemungkinan estetis dan industrialnya. Masih saya tuliskan.)

Pertanyaan yang sering diajukan pada saya[1] adalah: “apakah beda novel grafis dan komik biasa?”

Semakin hari, semakin saya butuh jeda sejenak untuk menjawab pertanyaan ini. Di satu sisi, pikiran saya otomatis berkata: tentu saja novel grafis adalah komik juga. Di sisi lain, di kepala saya berseliweran berbagai fakta yang semakin hari semakin gemuk dan bulat: bahwa istilah “komik” sudah terlalu lama mengalami peyorasi (penurunan nilai) dan memang ada kebutuhan untuk sebuah istilah yang lebih bergengsi untuk medium jadah ini; bahwa dalam kenyataan, karya-karya “novel grafis” memang beda dengan “komik biasa” –tapi apa tepatnya perbedaan itu?; bahwa sampai kini pun istilah ini masih “kontroversial”, namun jelas bermanfaat dari segi industri dan “dakwah komik”.

Memang dibutuhkan sebuah jawaban yang utuh dan lengkap untuk pertanyaan di atas, yang mencakup dimensi estetis, historis, bahkan filosofis. Jawaban utuh itulah yang hendak saya coba kemukakan dalam buku ini.

Awal kelahiran: kontroversi pertama

Banyak yang menabal karya Will Eisner, A Contract With God (1978), sebagai “novel grafis” pertama. Stephen Weiner, dalam Faster Than a Speeding Bullet: The Rise of the Graphic Novel, menulis[2]:

“Novel grafis” modern pertama ditulis dan digambar oleh seorang kartunis veteran, Wil Eisner, yang melahirkan istlah ini saat mencoba membujuk redaksi di Bantam Books untuk menerbitkan sebuah buku komik yang ditulis setebal buku lazimnya.

Pandangan ini menjadi pandangan resmi atau mainstream sejarah komik di Amerika. Majalah Time, baik dalam edisi cetak maupun dalam edisi on line[3], termasuk yang meyakini hal ini. Dalam Time edisi on line itu pula (berkatilah internet!) masuk tanggapan dari sejarawan komik R.C. Harvey yang menyebutkan bahwa Will Eisner bukanlah orang pertama yang menggunakan istilah “novel grafis”. Lebih dari itu, menurut Harvey, cetakan pertama A Contract With God sama sekali tidak mencantumkan sebutan “novel grafis” di cover maupun dalam pengantar. Menurut Harvey, setelah 1978, istilah “novel grafis” mulai banyak dipakai dan barulah dalam cetakan selanjutnya istilah itu dilekatkan pada buku tersebut. Jadi, menurut Harvey, kehadiran A Contract With God bukanlah penanda kelahiran novel grafis.

Lebih jauh lagi, Harvey menerangkan, istilah ini pertama kali digunakan oleh Richard Kyle pada November 1964, dalam sebuah newsletter yang diedarkan pada para anggota Amateur Press Association. Dan saat pertama sebuah komik panjang diidentifikasi sebagai “novel grafis” adalah pada 1976, ketika terbit Beyond Time and Again karya George Metzger, yang mencantumkan istilah ini pada halaman judul dan bagian lipat sampul bukunya.

Pengulas komik majalah Time, Andrew Arnold, mengakui fakta sejarah itu, tapi kukuh menetapkan karya Eisner itu sebagai novel grafis pertama. Setelah mengonfirmasi dengan Eisner, memang kata “novel grafis” tidak dicantumkan di edisi pertama, yang merupakan edisi hard cover. Tapi kata ini dicantumkan dalam edisi soft cover, yang terbit pada 1978 juga. Jadi dari segi waktu, memang tepat bahwa kata “novel grafis” dilekatkan pada tahun penerbitan pertama karya tersebut.

Di samping itu, Eisner mengakui pada Time bahwa ia bukanlah yang pertama menciptakan istilah maupun format novel grafis. Ini sejalan dengan uraian tentang novel-novel grafis Eisner dalam The Will Eisner Companion:

“Eisner memopulerkan istilah “novel grafis” ketika berusaha menarik minat redaksi di Bantam Books kepada proyeknya (membuat komik berbentuk buku untuk orang dewasa) beberapa tahun sebelum (1978). Redaksi Bantam menolak, tapi istilah itu terus melekat.”[4]

Namun Eisner berkata, “Saya tak bisa mengklaim bahwa saya yang menciptakan novel grafis, tapi saya rasa waktu itu saya sedang berada dalam posisi mengubah arah komik.” Menurut Arnold lebih lanjut, dalam responnya itu terhadap e-mail Harvey, karya Eisner itu diterbitkan di luar sistem komik (Amerika) yang telah ada, dan jelas merupakan comix pertama yang dengan sadar beraspirasi mencapai status sastrawi. Dengan mencantumkan istilah “novel grafis” di sampul depan, Eisner telah mengkristalkan konsep “novel grafis”.

Kalau saja para penulis bule itu menengok wacana komik Indonesia (yang, harus diakui, memang minim!), mereka mungkin akan tertarik pada sebuah fakta yang diangkat oleh Seno Gumira Ajidarma[5]: tujuh tahun sebelum A Contract with God, Teguh Santosa sudah menyebutkan komiknya, Mat Romeo (1971), sebagai “novel bergambar”.

Seno jelas memadankan istilah Teguh itu dengan istilah “novel grafis” ala Eisner. Penelaahan lebih mendalam akan menunjukkan keberbedaan dua istilah itu, tapi sementara ini cukuplah kita berhenti pada fakta menarik ini untuk sekadar menggambarkan betapa kelahiran istilah ini memang tak jelas. Ini berpengaruh pada peneguhan soal manakah novel grafis pertama?

Lebih-lebih, beberapa pengamat menyebutkan karya-karya yang jauh lebih lampau sebagai “novel grafis” juga. Misalnya, Stan Tychinski menyebut komik yang oleh sebagian sejarawan komik dianggap komik pertama di Amerika, sebuah terjemahan karya komikus Swedia Rudolphe Töpffer, Adventures of Obadiah Oldbuck (1842), sebagai novel grafis pertama.[6]

Stan juga merangkum album-album komik di Eropa mulai seri Tintin sejak judul pertama, Tintin in The Land of The Soviets (1930), sebagai novel grafis juga. Tepatnya, Stan menyebut komik tersebut sebagai “album grafis yang pertama”, tapi ini dalam naungan bahasan tentang sejarah novel grafis.[7] Stan juga memasukkan kebanyakan manga, sejak karya pertama Osamu Tezuka yang dianggap sebagai karya manga modern pertama, Treasure Island, dalam cakupan tema novel grafis.

Kontroversi ini bertambah dengan lema “graphic novel” dalam The Encyclopedia of Fantasy yang ditulis oleh Clute & Grant. Dalam keterangan untuk lema ini, Clute & Grant membedakan antara istilah dengan kenyataan historis format novel grafis. Istilah novel grafis, menurut dugaan mereka, lahir pada awal 1970-an. Namun dalam sejarah seni rupa dan komik, ada beberapa eksperimen yang layak dirujuk sebagai bagian dari kelahiran novel grafis. Yang utama, terbitnya “novel” dalam gambar-gambar cukil kayu karya Lynd Ward: God’s Man (1930).[8] Karya ini hakikatnya adalah sebuah karya grafis, namun secara nyata adalah merupakan novel karena berisi sebuah cerita panjang. Karya ini juga disebut-sebut oleh Will Eisner dalam bukunya, Graphic Story Telling.

Pangkal kesimpangsiuran asal-usul ini tentu saja berakar pada kekaburan definisi “novel grafis”. Kebanyakan tulisan yang mengulas novel grafis menggunakan begitu saja istilah ini sebagai sebuah konsep siap pakai.[9] Kalaupun ada beberapa yang mencoba membatasi pengertian “novel grafis”, definisi yang diberikan teramat umum dan memancing kontroversi lanjutan. Walau begitu, kita perlu menyusuri masalah ini untuk tiba pada pengertian yang bisa kita anggap paling menggambarkan hakikat “novel grafis” ini.

“Novel grafis adalah …”

Menurut R.C. Harvey, ketika istilah ini pertama kali digunakan oleh Richard Kyle, pada 1964, maknanya adalah:

…A long form of comic book.

Buku komik berformat panjang.

Kata “panjang” di sini merujuk pada jumlah halaman yang tebal, dan bukan ukuran fisik komik tersebut. Makna ini pulalah yang dimaksud oleh George Metzger ketika mencantumkan istilah itu dalam karyanya, Beyond Time and Again. Dalam makna ini, lanjut Harvey, ada beberapa karya komik/grafis yang memenuhi pengertian tersebut sebelum Eisner menerbitkan A Contract With God, seperti: He Done Her Wrong karya Milt Gross pada 1930, dan His Name Is …Savage karya Gil Kane dan Archie Goodwin pada 1968. Untuk karya Kane & Goodwin itu, Harvey menambahi embel-embel deskripsi “a book length comic” (sebuah komik setebal buku). Maknanya tentu sama dengan “a long form comic book” tadi.

Di sini harus kita pahami konteks Amerika dalam definisi ini, khususnya yang menyangkut istilah “buku” dalam menyebut komik. Standar industri komik Amerika memang diawali dengan sebuah kerancuan.

Pada mulanya, sejak komik strip pertama di Amerika, Yellow Kid (1895) karya Richard F. Outcault, komik hanya tampil sebagai bagian dari koran atau majalah. Dalam koran, komik bisa jadi mendapat halaman khusus, tapi komik tak pernah disajikan ke publik dalam bentuk terbitan khusus komik. Sampai pada 1934, Max C. Gaines punya ide cemerlang untuk mengumpulkan komik-komik strip yang sudah terbit dan punya banyak penggemar di koran ke dalam sebuah terbitan khusus dalam format khusus pula. Terobosan itu bertajuk Famous Funnies, diterbitkan oleh Eastern Color.

Sebetulnya, pada 1929, penerbit Dell sempat meluncurkan tabloid komik yang juga memuat komik-komik strip yang telah populer. Percobaan ini gagal di pasaran karena masyarakat rupanya tak mau membayar sesuatu yang mereka anggap mestinya diberikan gratis bersama koran yang mereka beli. Kecemerlangan Max Gaines terletak pada pilihan format fisik. Famous Funnies dicetak sebesar seperempat halaman komik di koran (kira-kira 10 ½ X 7 inci), kebanyakan halamannya berwarna, dan harganya bisa ditekan hanya 10 sen. Format ini kemudian praktis menjadi standar komik Amerika.

Famous Funnies disebut buku komik (comic book), dan ternyata laku keras. Revolusi media ini berlanjut dengan terbitnya New Comics (National Allied Publishing) pada 1935, yang menerbitkan komik-komik (strip) yang belum pernah diterbitkan di tempat lain. Komik, dengan demikian, hadir sebagai media mandiri kepada publik Amerika –tak terikat lagi dengan industri koran atau majalah. Sukses kedua seri ini menumbuhkan banyak terbitan serupa di Amerika: format fisik serupa, dan selalu merupakan antologi. Rata-rata setebal 64-84 halaman.

Pada masa awal ini, istilah “buku” mungkin masih tepat untuk komik-komik tersebut, kecuali bahwa berbagai antologi itu diterbitkan secara berkala (biasanya bulanan) dan terbit dengan nomor urut, seperti majalah. Dan memang, kemudian berkala-berkala komik itu menjadi semakin seperti majalah dari segi tercakupnya iklan dan surat pembaca. Namun, komik dalam format ini tetap disebut “buku komik”.

Format ini menjadi semakin “aneh” ketika biaya produksi meningkat. Para penerbit komik tak memilih jalan seperti majalah-majalah umumnya, yakni menaikkan harga dan mempertahankan jumlah halaman serta mutu cetakan. Berkala-berkala komik itu dipertahankan harganya, tapi halamannya dikurangi. Hal ini lebih menjauhkan format terbitan komik tersebut dari kategori “majalah”, dan sebutan yang dipertahankan tetaplah “buku komik”.

Pada 1952, penerbit William Gaines (anak Max Gaines) dan editor/komikus Harvey Kurtzman, menerbitkan antologi humor-parodi MAD. Di samping antologi komik humor ini, Gaines dan Kurtzman juga terkenal lewat komik-komik horor, crime stories, serta komik perang yang terbit dalam bendera EC Comics yang merajai pasar komik Amerika pada saat itu. Daya tarik utama komik-komik EC adalah sifat subversif mereka, serta keberanian menampilkan tema-tema maupun visualisasi yang “dewasa”, termasuk dalam berkala MAD. Justru daya tarik inilah yang kemudian membuat EC Comics jadi sasaran pemberantasan komik yang dipicu oleh buku Frederic Wertham, Seduction of Innocent (1954).

EC Comics terpukul telak, khususnya ketika komunitas komik –demi dapat bertahan tetap terbit—membentuk asosiasi yang menerapkan sensor ketat agar komik-komik tak lagi “membahayakan anak-anak”. Sensor ini memberi sangsi: komik yang tak mencantumkan label CCA (Comic Codes Approval) tak boleh diedarkan di rak-rak komik di seluruh negeri. William Gaines melawan ini dengan jenius, lewat MAD: ia memutuskan untuk tak memakai CCA, tapi lantas menerbitkan MAD sebagai majalah dan dijual di kios-kios majalah. Di satu sisi, MAD bisa menghindari sensor ketat CCA; di sisi lain, MAD justru tumbuh jadi salah satu majalah komik tersukses di Amerika karena masuk ke mainstream penerbitan dan tak terbatas di industri komik.

Sisi lain lagi: makin terbedakan antara “majalah komik” dan “buku komik”. MAD adalah “majalah”. Tapi Action Comics, misalnya, walau terbit bulanan dengan nomor urut dan menyertakan iklan serta surat pembaca, tetap disebut “buku”. Seiring makin tipisnya berkala komik yang terbit di Amerika (pada 1970-an hingga kini, standar utama adalah setebal 32 halaman –biasanya terdiri 22-24 halaman cerita dan sisanya untuk iklan atau surat pembaca), maka bayangan orang Amerika tentang “buku komik” adalah komik-komik tipis (yang hakikatnya majalah) tersebut. Lama-lama, antara lain seiring semakin khususnya dan sempitnya jalur distribusi komik di Amerika, orang pun semakin membedakan antara “komik” dengan “buku”.

Dalam situasi tersebut, tak heran jika komik berjumlah halaman banyak adalah sebuah keistimewaan atau keanehan di Amerika. Apalagi jika komik tersebut bukan hanya tebal, tapi tak mengikuti standar halaman yang pasti. Misalnya, cukup banyak sebenarnya komik tebal dalam ukuran standar penerbitan komik Amerika, seperti 72 atau 96 halaman –tapi mereka lebih sering disebut “special edition”, “double sized edition”, atau (kalau kertasnya luks macam art paper) “prestige format”. Komik yang tebalnya lebih bergantung pada selesainya cerita, kemudian, disebut “book-length comic”.

Persis dalam pengertian itulah novel grafis pada mulanya –“komik yang setebal buku”. Tapi apakah pengertian ini cukup? Perlu digarisbawahi juga bahwa tersirat dalam pengertian-pengertian awal ini adalah adanya sebuah cerita panjang di dalam novel grafis. Antologi cerita komik pendek, dengan demikian, tak termasuk ke dalam sebutan “novel grafis”. Walau dari semula hingga kini praktis tak ada kesepakatan tentang berapa halamankah agar sebuah komik dihitung “tebal”, namun standar 22, 24, atau 32 halaman dianggap masih cerita pendek.

Definisi lain adalah dari Stephen Weiner[10], yang mengartikan novel grafis sebagai:

…book-length comic books that are meant to be read as one story.

Buku-buku komik yang setebal buku, yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai sebuah cerita.

Dalam definisi ini, Weiner menyertakan pengertian awal novel grafis yang berhubungan dengan panjang cerita atau tebal halaman. Lagi-lagi sebuah ukuran yang tak pasti digunakan, yakni “setebal buku”. Cara pemakaian istilah “buku” dan “buku komik” itu juga tampak bermasalah. Seakan-akan buku komik adalah bukan buku, mereka berbeda, tapi bergabung pengertian dalam format novel grafis. Agaknya Weiner pertimbangan pragmatis sangat kuat dalam definisi ini: Weiner merasa tak perlu untuk terlalu menyoal salah kaprah historis di balik kata “buku komik” di Amerika seperti yang telah kita bahas di atas.

Keistimewaan definisi Weiner sendiri terletak pada pengimbuhan batasan “dimaksudkan untuk dibaca sebagai sebuah cerita”. Ini tentu berhubungan dengan kata “novel” dalam istilah novel grafis. Pengertian novel dalam ilmu sastra memang lebih dari sekadar “cerita panjang” atau bukan “cerita pendek”. Pemenang hadiah Nobel untuk sastra pada 2001, V.S. Naipaul, menulis dalam Finding The Centre bahwa penulisan novel adalah pencarian sebuah pusat.[11] Novel adalah cerita panjang yang mengandung sebuah pusat, dan dari pusat itu terbangunlah sebuah semesta cerita, sebuah jalinan kejadian yang secara keseluruhan membentuk sebuah kebulatan. (Kita akan membahas soal ini lebih dalam pada bab 5.)

Uniknya, A Contract With God sendiri secara wadag bukanlah satu buah cerita, tapi empat cerita pendek. Mengapakah karya ini tak disebut sebagai “cerpen”, tapi “novel (grafis)”? Mungkin saja Eisner sekadar ingin menarik perhatian. Karya ini adalah sebuah penyimpangan dalam tradisi komik Amerika, dan Eisner menyodorkan penyimpangan ini ke penerbit umum –menandakan ia memang ingin karyanya menyempal dari sistem komik yang ada di Amerika saat itu. Eisner butuh istilah yang catchy (enak didengar dan menarik perhatian), serta mampu membuat komik “aneh” ini diterima oleh publik umum komik maupun nonkomik. Maka istilah “novel grafis” lah yang dipakai, ketimbang, misalnya, “kumpulan cerpen grafis”.

Perkara novel kok terdiri dari empat cerpen, mari kita tengok khasanah sastra (tulis) sejenak. Dalam sastra, memang dikenal beberapa eksperimen dalam novel. Kita tengok lagi Naipaul. Novel, dalam uraian Naipaul tadi, adalah buku fiksi yang memiliki sebuah pusat. Dalam novel “biasa”, pusat itu adalah inti cerita dari tokoh utama. Misalnya, nasib tokoh utama dalam sebuah persoalan besar (bisa persoalan cinta, politik, agama, apa saja). Namun Naipaul rupanya tak membatasi pusat tersebut hanya sebatas pengertian itu, ia juga mencakupkan tema sebagai pusat.

Sehingga, bisa jadi ada beberapa cerita yang tampak tak saling berkaitan (tokoh-tokohnya beda, jalinan cerita setiap kisah tak saling berkait, dunia yang ditempati cerita tak berkait juga, dan sebagainya), namun dipadukan menjadi sebuah novel. Demikianlah, Finding The Centre terdiri dari dua kisah: kisah ayah Naipaul sebagai jurnalis di kampung halaman Naipaul, dan kisah perjalanan Naipaul ke Afrika. Eksperimen lebih lanjut ia lakukan dalam novel lain, In A Free State di mana novel ini terdiri dari beberapa cerita pendek dan novela yang tak saling berhubungan, tapi semua diikat oleh sebuah tema yang sama: kemerdekaan negara bangsa.

Eksperimen serupa juga dilakukan oleh Milan Kundera dalam novelnya, The Book of Laughter and Forgetting. Novel ini terdiri dari beberapa kisah yang tak saling berkaitan (kecuali dua kisah yang menggunakan tokoh yang sama), tapi semua berkisah tentang tawa dan lupa. Dalam salah satu bagian novel, Kundera menulis dalam bentuk esai yang dinarasikan oleh Sang Pengarang, dan berbicara panjang lebar tentang variasi dalam komposisi musik. Sebuah komposisi terdiri dari serangkaian melodi dasar, melodi itu bisa dimainkan sang musisi secara berulang dalam cara berlain-lainan –itulah makna “variasi” dalam musik. Sering, hasil variasi itu sudah tak terdengar mirip lagi dengan komposisi awal, tapi dasarnya sebenarnya sama. Dalam esai ini, Kundera sedang membicarakan novelnya sendiri –setiap bagian adalah sebuah variasi atas tema tawa dan lupa.

Maka memang dimungkinkan sebuah novel mengambil bentuk seperti sebuah kumpulan cerpen. Dan demikianlah yang terjadi dengan A Contract With God. Eisner sedang mengolah empat variasi dari tema ketakberdayaan dan kedaifan manusia di hadapan Sang Nasib. Karya ini memiliki sebuah pusat, dan karenanya keempat cerita pendek ini menjadi bulat sebagai sebuah novel –novel grafis.

Di sini kita berjumpa dengan sebuah persoalan sastrawi yang cukup canggih, mencakup persoalan form (bentuk, format) dan isi atau tema. Cukup canggih, khususnya karena ini terjadi di wilayah komik Amerika yang selama berpuluh-puluh tahun terperangkap dalam keharusan menjadi bacaan anak dan remaja. Eisner memang ingin sekali bercerita tentang masalah-masalah “dewasa” dan sejak membuat komik di era 1940-an, Eisner percaya bahwa komik mampu menampung tema-tema dewasa itu.

Bahkan memang kedewasaan itulah yang menurut Eisner menjadi ciri pembeda antara komik biasa dan novel grafis:

“Aku duduk dan mencoba mengerjakan sebuah buku yang secara fisik tampak seperti buku yang ‘absah’ dan pada saat sama mencoba menulis tentang sebuah persoalan yang tak pernah dibahas dalam format komik…”[12]

Dalam wawancara dengan Time pada 1993, Eisner meratapi posisi hibrid karyanya:

“Adalah sukar menulis tentang patah hati dan menjualnya kepada seorang anak 15 tahun yang hanya ingin membaca tentang dua mutan yang saling hantam.”[13]

….BERSAMBUNG


[1] Misalnya dalam sebuah wawancara dengan seorang reporter Kompas, untuk artikel mereka, Novel Grafis: Upaya Meraih Pasar dengan Format Baru dan Novel Grafis: Komik atau Sastra?, dalam Kompas, Sabtu 15 Oktober 2005, halaman 44-45.

[2] Stephen Weiner, Faster Than a Speeding Bullet: The Rise of the Graphic Novel, NBM Publication, New York, 2003, halaman 17.

[3] Andrew Arnold, The Graphic Novel Silver Anniversary, TIME.comix.

[4] N.C. Couch & Stephen Weiner, The Will Eisner Companion, The Pioneering Spirit of The Father of The Graphic Novel, DC Comics, New York, 2004, halaman 107.

[5] Seno Gumira Ajidarma, “Sastra Film” dalam Komik Teguh Santosa, dalam Seni Komik Teguh Santosa, Retrospeksi 1965-2000, Galang Press, 2000.

[6] Stan Tychinski, A Brief History of the Graphic Novel, dalam Brodart.com.

[7] Idem.

[8] John Clute & John Grant, The Encyclopedia of Fantasy, Orbit, London, 1999.

[9] Contoh paling menyolok adalah karya Roger Sabin, Comics, Comix, and Graphic Novels, A History of Comic Art. Walau jelas buku tersebut menyebutkan istilah graphic novels atau novel grafis di sampulnya, tak ada satu pun definisi novel grafis di situ.

[10] Stephen Weiner, idem, halaman xi.

[11] V.S. Naipaul, Finding The Centre: Two Narratives, André Deutsch, 1984.

[12] Dalam Andrew Arnold, idem.

[13] Margot Hornblower, Beyond Mickey Mouse, dalam Time, 1 November 1993.

Written by hikmatdarmawan

February 15, 2010 at 12:56 pm

21 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. sebagai tambahan utk rujukan diskusi ttg definisi2an. Mungkin berguna:
    -Lawrence L. Abbott. Comic Art: Characteristics and Potentialities of a Narrative Medium
    (yg ini belum dapet teks-nya.)
    -Greg Hayman and Henry John Pratt, “What Are
    Comics?” in A Reader in Philosophy of the Arts, ed. David Goldblatt and Lee Brown (Upper Saddle River,NJ: Pearson Education Inc., 2005), pp. 419–424.
    (ini juga belum dapet teksnya)
    -AARON MESKIN. Defining Comics?
    -HENRY JOHN PRATT. Narrative in Comics.

    http://madinkbeard.com/blog/archives/abbott-1986
    http://www.emaki.net/blog/2006/06/re-un-defining-comics.html

    Kawan Seberang

    February 16, 2010 at 12:40 am

    • Mantap, kawanku dari seberang, Karna… 🙂
      Makasih banget, ya, atas tambahan referensinya.

      hikmatdarmawan

      February 16, 2010 at 12:52 pm

  2. ‘Novel bergambar’ terdengar sebagai sebuah istilah yang lebih pas daripada ‘novel grafis’, karena di Indonesia kata ‘grafis’ itu rancu dengan pengertian grafis pada ‘desain grafis’, itu pun banyak yang salah mengeja jadi ‘grafis desain’ dan ‘desain grafik’, yg lebih konyol lagi, ‘desain graphis’.

    Medski

    February 16, 2010 at 3:52 pm

    • Istilah “novel bergambar” sama bermasalah dengan istilah “cerita bergambar”. Sebab, artinya adalah “novel dengan gambar”. Jadi, gambar di dalam istilah itu adalah ilustratif saja, tambahan pemanis saja, dan tidak memengaruhi pembacaan kita atas cerita. sementara dalam komik, cerita diceritkan lewat gambar. maka, istilah yg lebih tepat adalah “Gambar Bercerita”. Atau, yg sekarang sering dipakai sebagian teman aktivis komik, “Cerita Gambar” (dengan “ber”) dihilangkan.
      Soal istilah “novel grafis” sering dirancukan dengan “desain grafis”, itu masalah pembiasaan saja. Tapi, saya ulik istilah “novel grafis” ini lebih karena istilah ini sudah mapan, sudah disepakati banyak orang di banyak tempat, tapi masih sering salah kaprah penggunaan atau penyikapan pembaca terhadapnya. Ini bukan istilah wajib kok. Hanya, saya berharap, bisa urun pemikiran saja dalam percakapan tentang novel grafis yg sedang tumbuh jadi industri penerbitan yg “seksi” di Amerika dan Eropa Barat.

      hikmatdarmawan

      February 16, 2010 at 11:57 pm

      • Lucu juga sebenarnya penamaan ini, karena kalau dipikir2 ‘graphic novel’ itu susah diterjemahkan secara harfiah ke Bahasa Indonesia. Selain karena perbedaan budaya yang cukup jauh antara Barat dan Indonesia (bahkan Jepang pun tidak menyebut komik2 seinen bundel mereka sebagai graphic novel, melainkan tankoubon saja seperti komik2 secara umum), kita kadang lupa bahwa ‘graphic novel’ sebenarnya hanyalah istilah marketing. Bila kita jualan komik secara umum saja masih malu2, untuk apa pula sudah pusing memikirkan padanan kata sebuah istilah yang produknya saja masih di awang2? ^_^

        Oya, kalau menurut saya sih
        Gambar Bercerita = ilustrasi.
        Cerita berilustrasi = storybook (lucu kan, dlm bahasa Inggris emphasisnya malah di ‘story’)
        Gambar sekuensial bercerita = komik.
        Graphic = presentasi visual = gambar
        Graphic novel = novel bergambar
        Tapi tentunya, penamaan itu belum begitu penting saat ini 🙂

        medski

        February 18, 2010 at 12:33 am

  3. terima kasih bung Hikmat, utk berbagi ilmu nya, sangat mencerahkan…

    menurut hemat saya, saat istilah “novel” ditempelkan pada kata “grafis” sebenernya lebih seperti bentuk penjajahan dari paham kata/verbal atas paham rupa, seakan cerita yang memanfaatkan gambar sec dominan tidak sebermutu pesan berbentuk kata. sastra akan lebih bermutu kalau berbentuk kata daripada gambar.

    istilah “penjajahan” mungkin agak ekstrim. Namun penggunaan kata novel nampaknya memang dilatarbelakangi alam bawah sadar kita yang percaya bahwa setiap komik yang mengandung cerita yang lebih berat sedikit dari komik pada umumnya, langsung didefinisikan “lebih dari komik”, atau diluar komik.
    Emang sih kesannya jadi agak berat dan intelek:”novel grafis”.

    grafisosial

    February 18, 2010 at 10:02 am

    • grafisosial, terima kasih juga.
      Betul, memang sudah banyak keberatan dari para seniman komik sendiri (Art Spiegelman dan Eddie Campbell) terhadap penggunaan istilah “novel grafis”. Seperti Anda, keberatan utama mereka adalah kesan “penjajahan” tersebut.
      Dan, memang, Eisner sendiri menggunakan kata itu persis dalam konteks “meninggikan”/memberi gengsi lebih pada komik. Tapi, konteks niatan Eisner tersebut adalah kenyataan sepanjang hidupnya bahwa medium komik di Amerika selalu dianggap “bacaan rendahan/tidak baik”, “bacaan anak”, “hiburan murah”. Anggapan ini melembaga sehingga menghalangi banyak sekali komikus utk menghasilkan karya2 dengan tema dewasa.
      Mengenai istilah “sastra” di bagian2 lanjutan naskah saya ini, sebetulnya saya menekankan bahwa istilah “sastrawi” yg saya gunakan untuk pensifatan Novel Grafis harus dipahami dalam konteks “bahasa rupa”. Jadi, ukuran2 “sastrawi”-nya agak beda dengan ukuran yg diterapkan pada sastra tulis.

      hikmatdarmawan

      February 18, 2010 at 1:21 pm

  4. Medski,
    justru di saat orang mulai meramaikan industri kreatif, atau industri kebudayaan, makin terasa bahwa persoalan marketing dalam produk budaya tak bisa lagi secara “sekuler” dianggap terpisah dari persoalan kultural sang konten atau medium. Justru karena saat ini besaran industri novel grafis di beberapa negara sudah cukup signifikan, penting untuk menelusuri aspek kultural dari produk budaya/kreatif ini.

    “Di awang-awang”? Yah, namanya juga wilayah kreatif –dengan imajinasi, kita bisa memberdayakan sebuah konsep yg belum ada menjadi sesuatu masalah kongkret. Bukankah “masa depan” juga selalu “di awang-awang”, karena belum kongkret –toh kita selalu didorong utk memikirkan “masa depan”, bukan? 🙂

    Tapi, ada satu alasan bagi saya sendiri, kenapa penting mengulik istilah ini di Indonesia. Saya punya pendapat, “novel grafis” adalah format yg bisa menggambarkan mayoritas komik kita dalam sejarah komik modern Indonesia sejak pertengahan abad ke-20. Saya ingin memasukkan khasanah “novel grafis” Indonesia ke wacana komik internasional, sehingga jika di negeri sendiri mereka dilupakan, biarlah komik-komik kita jadi warga dunia. Paling tidak, diakui dalam sejarah komik dunia. Buat saya, ini tidak mengawang-awang, karena saat ini saya sedang menapaki peluang untuk melakukan itu.

    Mengenai Jepang (saya menyediakan satu bab utk membahas soal ini di naskah saya) tak ada kebutuhan utk merekayasa sebuah ceruk dan jelajah estetis bernama “novel grafis”, sebab, komik memang selalu dihormati di sana.

    Mengenai istilah2, dalam pengalaman saya menerjemah dan bergelut di industri buku, buku anak dgn gambar kini biasa disebut “picture book”. terutama setelah posisi ilustrasi dlm buku2 utk anak semakin penting dan bergengsi. yg saya ulas dlm soal istilah ini adalah ketepatannya dlm menggambarkan sifat/fungsi/makna sebuah medium.

    “Ilustrasi” tak tepat jika diartikan “gambar bercerita”, saya kira, tapi lebih tepat “gambar yang menerangkan/menguatkan cerita”.

    hikmatdarmawan

    February 18, 2010 at 1:44 pm

  5. Excellent! If I could write like this I would be well happpy. The more I see articles of such quality as this (which is rare), the more I think there could be a future for the Net. Keep it up, as it were.

    Leopoldo Kubicek

    March 12, 2010 at 6:30 pm

  6. Mas, tolong ceritain dong kalo yg dsbt dg graphic travelogue itu gimana? Thanks.

    Trinity

    June 6, 2010 at 3:10 am

  7. Wah, Trinity, selamat ya atas terbitnya Graphic Travelogue “Duo Hippo Dinamis: Tersesat Di Byzantium” berdasarkan ceritamu. Mau jadi seri, kan? 🙂
    Sebetulnya, DHD: Tersesat… itu sudah tepat mengaku sebagai “Graphic Travelogue”.

    Istilah Graphic Travelogue sendiri adalah pengembangan dari istilah “Graphic Novel”, dan menjadi sebutan bagi sebuah subgenre Novel Grafis. Mungkin itu sebutan belakangan saja, utk memberi ciri atau identitas sebuah subgenre di tengah maraknya pasar Novel Grafis.

    Secara umum, Graphic Travelogue sama saja dari segi tematik dan kekisahan (naratif) dgn Travel Writing, yg juga kini marak sbg subgenre dlm duia penerbitan buku. Ciri khusus Graphic Travelogue hanyalah bahwa ia diceritakan dgn bahasa visual komik. (Walau, harus saya sebut, kebiasaan merekam secara visual/gambar sebuah perjalanan juga sering dilakukan oleh para perupa/pelukis/kartunis non-komikus, dan karya2 mereka bisa juga sebetulnya disebut sbg graphic travelogue. Hanya saja, saat ini, kita batasi saja istilah ini utk format komik/novel grafis.) Kekayaan jenis maupun kemungkinan eksplorasi tuturan dan kekisahan Graphic Travelogue boleh jadi nyaris serupa dgn yg berkembang di khasanah Travel Writing. Tapi, karena bahasa kekisahannya adlh bahasa komik, jelajah itu bisa meluas ke eksplorasi visual juga.

    Gampangnya, di samping bisa mengembangkan kisah2 menarik tentang perjalanan ke daerah2 asing atau baru (seringkali, eksotik), Graphic Travelogue bisa berkembang jadi karya rupa yg asyik, karena rekaman perjalanan itu bisa ditambah dgn rekaman gambar dan disusun dgn jurus2 dramatisasi yg khas komik.

    Kalau sejarahnya, mungkin saya akan tuliskan secara khusus. 🙂 Tapi, secara umum, bentuk graphic travelogue –walau belum tentu disebut demikian– itu punya jejak perkembangan cukup lama dlm sejarah komik di Jepang, Amerika, dan Eropa. Tapi, perkembangan pesatnya terutama pada 1990-an dan 2000-an ini.

    Dari segi kekisahan perjalanan, salah satu yg sangat memengaruhi sejarah Graphic Travelogue, menurut saya, adalah seri Tintin, yg selalu berkelana ke berbagai negara. Tapi, seri Tintin tentu saja fiksi, dan bukan graphic travelogue sesungguhnya. Hanya, jurus2 kekisahan Tintin bisa dipakai oleh para penulis graphic travelogue.

    Pd 1970-an, di Amerika, muncul bibit2 penulisan komik biografis dan “komik curhat” dari Robert Crumb, Spain, dan Harvey Pekar. Mereka juga berpengaruh pd kekisahan Graphic Travelogue. Sampai, pada 1990-an, muncul Joe Sacco (yg memang dipengaruhi Tintin dan Harvey Pekar), yg menggunakan bahasa komik utk laporan jurnalistiknya. Aliran jurnalistik Sacco (ia belajar khusus jurnalistik, dan bukan senirupa) dekat dgn New Journalism yg antara lain di Indonesia sering dikembangkan jadi “Jurnalisme Sastrawi”. Sacco, dgn Palestine, tak menyebut karyanya sbg “graphic travelogue”, tapi jelas merekam perjalanannya ke Palestina dan Bosnia-Serbia.

    Di Eropa, salah satu pelopor yg kuat dr graphic travelogue adalah Loustal dri Prancis. Dia lama tinggal di Afrika, dan itu kelihatan dlm karya2nya –dia punya kepekaan terhadap eksotika tempat asing. Karya2nya yg boleh dibilang mengandung unsur travelogue adalah “New York”, “Miami”, dan ada satu karyanya yg bercerita ttg kunjungannya ke Pulau Jawa (tp, lebih seperti Picture Book, ketimbang komik). Di samping Loustal, seri Little Nothings karya Lewis Trondheim, yg merupakan Graphic Diary si Lewis, kadang berfungsi sbg graphic travelogue juga.

    Di Amerika, setelah kemunculan Joe Sacco, bermunculan beberapa novel grafis yg dengan sadar ditabal/dilabel sbg “graphic travelogue”. Misalnya, “To Afghanistan and Back” karya Ted Rall, “Baraaka and Black Magic in Morocco” (Rick Smith), dan terutama beberapa karya Guy Delisle spt. “Pyong Yang”, “Shenzen”, dan “Burma Chronicles”. Saya pribadi, suka sekali dgn karya Craig Thompson, “Carnet De Voyage: 1”.

    Di Jepang, subgenre ini mungkin cukup banyak (saya cukup sering melihat manga2 travelogue, sayangnya saya tak bisa berbahasa Jepang, jd tak mengerti). Ada juga sebuah manga tentang perjalanan dua orang Jepang di Amerika, yg cukup penting juga dlm sejarah manga, tp saya lupa judulnya.

    Di Indonesia, saya pernah dengar ada komik pd 1960-an di sebuah koran yg berafiliasi ke PKI yg memuat laporan jurnalistik dlm bentuk komik. Ini jelas mendahului Sacco, dan di dalamnya ada unsur laporan perjalanan juga. Sayang sekali, karena Orde Baru menghapus sejarah PKI kecuali versinya sendiri, kita pasti sulit sekali mendapatkan koran dan komik tersebut. Tapi, jelas, salah satu pengembang penting graphic travelogue di Indonesia adalah Tita. Terutama, komik2 dia yg mencatat perjalanannya ke berbagai tempat di Belanda/Eropa dan Indonesia, dlm bentuk satu halaman satu bulan. Beberapa kisahnya, muncul di edisi Curhat Tita, kalau tak salah. Tapi, yg jelas, karya2 Tita dlm format aslinya pernah dipamerkan di Pameran KOmik DI:Y, di TIM.

    Sekali lagi, saya jd kepikiran utk nulis ttg graphic travelogue ini. Terima kasih, Trinity, utk pertanyaannya!

    hikmatdarmawan

    June 6, 2010 at 5:45 pm

  8. hi, saya hima dr ITB, kebetulan sekarang saya sedang membahas graphic novel karya will eisner, saya mau tanya untuk buku N.C. Couch & Stephen Weiner, The Will Eisner Companion, The Pioneering Spirit of The Father of The Graphic Novel, DC Comics, New York, 2004. Apakah Anda punya Ebooknya atau bukunya…makasih juga untuk infonya sangat membantu.. 😀

    Hima

    October 3, 2011 at 7:52 pm

    • Halo, Hima, maaf baru jawab. Saya rasanya punya e-booknya. Silakan kontak saya via facebook atau gmail (alamatnya ada di halaman info facebook saya).

      trims ya.

      hikmatdarmawan

      December 22, 2011 at 6:42 am

  9. Udah bc novel grafis alan more yg V for VENDETTA?kalw udah beli dimana?

    dia

    October 9, 2011 at 1:53 pm

    • V for Vendetta sudah diterjemah oleh Gramedia. Mungkin jika tanya ke toko buku Gramedia, walau sudah tak ada di gudangnya, bisa dicarikan? Atau memesan online.

      hikmatdarmawan

      December 22, 2011 at 6:57 am

  10. Keren gan blog sampeyan!!! Jangan lupa untuk koment balik!!!

    Gak Basi

    July 21, 2012 at 4:47 pm

  11. […] Untuk koeis djoem’at kali ini, hadiahnya ada dua paket buku untuk dua pemenang, paket yang pertama adalah dua novel grafis, yaitu Hanyut 1-nya Yohihiro Tatsumi dan A Contract with God-nya Will Eisner, dua-duanya adalah pioner novel grafis. […]

  12. Salam kenal dulu. Bravo artikel Anda.
    Tulisan yang bagus dan lumayan lengkap tentang Novel Grafis, meski saya gak ketemu bagian duanya, mas Hikmat. Saya kebetulan tertarik untuk membuat NG dan Alhamdulillah telah menyelesaikan enam jilid yang merupakan serial Zaqqum Buah Dari Neraka. Episode awalnya (The Beginning) telah saya upload di Fesbuk saya, (https://www.facebook.com/tatangdino.herro ).
    Jujur saya masih agak kabur dengan kriteria lebih pasti apa sebenarnya yang dimaksud dengan NG, karena masih begitu beragamnya pendapat tentang rumusan yang diberikan beberapa pembuat NG sendiri. Kalo konklusinya sekadar mengacu kepada kwantitas halaman buku NG (itu juga belum disebutkan, batas minimalnya) sepertinya sederhana banget. Tapi untuk sementara ini, saya setuju saja.. Karena ini kompromi paling familiar dari riuhnya bahasan mengenai makna NG sendiri.
    Mas Hikmat, jika tidak keberatan, saya ingin mengambil artikel Anda untuk dimuat di Fesbuk saya yang sekarang sedang mencoba menggagas berdirinya sebuah Komunitas NG. Bahasan ini, mungkin bisa membantu lebih mencerahkan mereka yang belum memahami tentang NG
    Saya tunggu tanggapannya, terima kasih.

    Tatang Dino Herro

    December 25, 2012 at 3:31 pm

  13. tulisan yang renyah, asik tulisannya mas!

    Jaka Perdana

    March 24, 2014 at 12:06 am

  14. masih menunggu sambungannya

    hifrax

    June 21, 2015 at 3:37 am

  15. Mas bagaimana dengan industri novel grafis di Indonesia? sepertinya belum ada pasarnya ya? saya kepikiran untuk buat novel grafis. dimana saya sebagai writer dan saya menyewa komik artis. kira-kira biaya membuat novel grafis berapa ya? thanks

    hidupiniseperti

    April 19, 2016 at 4:03 pm


Leave a comment