But, Seriously…

Daily Diets of an Ephemeral Cultural Stalker

VERTIGO COMICS: TIGA GENERASI PLUS (Bagian Satu)

with 5 comments

[CATATAN: Tulisan ini saya mulai tuliskan pada 2005. Sampai sekarang, tulisan ini belum selesai. Tapi sudah cukup banyak yang saya tuliskan. Saya pikir, mulai dimuat saja lah dalam blog ini, secara bersambung. Nanti, bagian-bagian yang belum saya tuliskan, bisa diteruskan dalam blog ini juga. Nah, selamat membaca!]

Ilustrasi untuk cover Vertigo Winter Edge, gambar oleh Brian Bolland.

Ilustrasi untuk cover Vertigo Winter Edge, gambar oleh Brian Bolland.

Setelah 12 tahun, pada 2005, Vertigo –sebuah imprint DC Comics– membukukan sukses yang lumayan. Khususnya dengan sukses serial Fables (Bill Willingham & Mark Buckingham), Lucifer (Mike Carey & various), dan Y: The Last Man (Brian K. Vaughn & Pia Guerra).

Setelah serial Hellblazer diangkat ke layar lebar menjadi Constantine, beberapa judul Vertigo lain sedang dalam proses diangkat ke layar lebar. Salah satunya, Y: The Last Man tadi. Dengan kata lain, lini ini sedang menduduki tempat terhormat dalam industri komik Amerika. Gengsi ini juga terbangun dari kenyataan mutakhir yang menarik dari industri komik Amerika tersebut: banyak nama-nama ‘panas’ yang merajai industri itu adalah alumni dari Vertigo.

Diluncurkan pada Januari 1993, lini “coba-coba” ini punya akar yang jauh. Perjalanan 11 tahun itu sendiri, menurut hemat saya, bisa dibagi dalam tiga fase (generasi). Tulisan ini tak hendak menjadi esai tentang posisi Vertigo dalam sejarah komik, tapi lebih semacam “katalog kronologis” untuk mengenalkan lagi para seniman komik yang jadi alumni lini unik ini. Jadi, mohon maaf jika tulisan ini dipenuhi nama-nama yang sebagian mungkin asing bagi pembaca luas. Namanya juga mengenalkan.

Mbah, ayah, dan paman pemabuk

"Holly Trinity" bagi Vertigo Comics: Moore, Gaiman, Morrisson.

“Holly Trinity” bagi Vertigo Comics: Moore, Gaiman, Morrisson.

Gampangnya, imprint Vertigo adalah wadah bagi cerita-cerita horor dengan khalayak sasaran pembaca dewasa. Sejak semula, sasaran “pembaca dewasa” ini membuat modus produksi di lini ini lebih bebas secara kreatif daripada komik mainstream Amerika umumnya. Tak ada lagi pembatasan-pembatasan muatan seks dan kekerasan dalam komik Vertigo. Style visual lini juga lebih variatif –gaya individual lebih dijamin di sini.

Tapi ada ciri lain yang berhubungan dengan kebijakan redaksional Vertigo/DC. Komik-komik Vertigo tampak memiliki ambisi sastrawi. Arahan kepada publik dewasa memungkinkan penjelajahan tema-tema filsafat. Di samping itu, komik-komik Vertigo juga menunjukkan upaya penjelajahan teknik naratif –baik secara visual, maupun (lebih-lebih) secara tekstual.

Mungkin ini terkait dengan kebijakan redaksi yang hanya mau menerbitkan karya-karya dari para seniman komik yang sudah pernah diterbitkan sebelumnya (itupun kemudian diseleksi lagi oleh redaksi Vertigo). Ini sedikit berbeda daripada penerbit-penerbit independen sezaman di sana, seperti Kitchen Sink Press, Fantagraphics, Image, atau Dark Horse.

Ketatnya kebijakan redaksional Vertigo ini adalah untuk menjadi saringan awal bagi karya-karya yang akan diterbitkan. Sebagai bagian dari penerbit besar, ada keharusan untuk mempertanggungjawabkan risiko bisnis dalam produk-produk yang hendak diluncurkan. Boleh saja lini ini punya semangat seni, tapi ia hanya menerima karya dari para seniman komik yang sudah dijamin mutu mereka –Vertigo hanya menerima seniman-seniman komik yang sudah “jadi”.[1]

Angkatan awal Vertigo memang para komikus yang sudah terbukti punya kelebihan khas, punya gaya atau tema khusus yang cocok bagi misi Vertigo. Sebelum kita bahas angkatan pertama ini, kurang afdal rasanya jika kita tak menengok dulu para komikus yang menjadi pilar awal, atau akar, dari lini ini. Ada tiga komikus yang tanpa mereka kemungkinan besar Vertigo tak akan lahir. Kebetulan ketiganya berasal dari Inggris.

Ketiga orang ini melahirkan karya-karya yang instrumental bagi kelahiran Vertigo: Alan Moore dengan The Saga of Swamp Thing, Neil Gaiman dengan Sandman, dan Grant Morrison dengan Doom Patrol. Tentang ketiga orang (dan karya mereka masing-masing) ini, ada yang pernah mengungkapkan: kalau diibaratkan, The Saga of Swamp Thing itu mbah-nya Vertigo, Sandman adalah ayahnya, nah, Doom Patrol adalah si paman pemabuknya.[2]

Alan Moore

Swamp Thing adalah tokoh rekaan Len Wein dan Bernie Wrightson. Keduanya adalah legenda komik di awal 1970-an. Karakter ini pertama kali muncul pada 1971 dalam House of Secret no. 92, dimaksudkan sebagai sebuah kisah horor yang tragis (sang monster berjiwa manusia berhati mulia, yang terbunuh dan mencari keadilan sebagai sang monster rawa). Ketika Alan Moore mengambil alih seri Swamp Thing pada 1983, setelah ditawari oleh Len Wein, penjualan seri ini sedang menurun (hanya sekitar 17.000 eksemplar per bulan). Di tangan Moore, seri ini mencapai penjualan lebih dari 100.000 eksemplar dan memenangi berbagai penghargaan komik paling bergengsi di Amerika dan Inggris.

The Saga of Swamp Thing no. 20 (Jan. 1984), Debut Pertama Alan Moore dalam seri Swamp Thing.

The Saga of Swamp Thing no. 20 (Jan. 1984), Debut Pertama Alan Moore dalam seri Swamp Thing.

Per definisi, angka penjualan itu telah mengembalikan seri ini (dan komik secara umum) ke mainstream pasar buku di Amerika Serikat.[3] Daya tarik utama seri ini adalah cara Alan Moore menghadirkan cerita-ceritanya. Moore menulis dengan dewasa, dan untuk pembaca dewasa.

Moore menulis dengan tanpa dihantui bayang-bayang Comics Code Authority –ia dengan leluasa menjelajah tema-tema kekerasan, lingkungan hidup, feminisme, berbagai hal yang masuk kategori “relevansi sosial” yang ditabukan oleh CCA. Moore juga menyajikan pembunuhan dan seks tanpa tedeng aling-aling (walau tak sampai eksploitatif, tapi apa adanya saja) –lagi-lagi sebuah tabu besar dalam CCA. Tapi, lebih penting lagi, Moore menuliskan cerita-cerita yang memang sangat menarik, menggoda benak pembaca dewasa untuk berpikir lebih jauh setelah membacanya.

Cara kerja Moore merevisi legenda Swamp Thing begini: ia mencari akar atau intisari seri ini, membedahnya, kemudian menghadirkan intisari itu dalam sebuah latar sosial yang realistis-kontemporer. Dengan kata lain, Moore mendasarkan cerita-ceritanya pada pertanyaan (1) apa sesungguhnya “Swamp Thing”?; dan (2) bagaimana jika Swamp Thing benar-benar ada dalam kehidupan nyata kita?

Untuk pertanyaan pertama, kita tengok kelahiran kisah ini. Len Wein dan Bernie Wrightson mencipta kisah ini dua kali. Pada pemunculan pertamanya di House of Secret (1972), Swamp Thing adalah Alex Olsen, seorang ilmuwan muda, yang dibunuh sahabatnya, Damian. Damian mengincar istri Alex, Linda Olsen Ridge. Damian merancang sebuah ledakan di laboratorium Alex, hingga seolah Alex mati dalam ledakan. Padahal Alex tak mati dalam ledakan itu …Damian mengubur jasad babak belur Alex di rawa. Nah, jasad ini bangkit kembali sebagai monster rawa hijau yang kemudian lantas membunuh Damian ketika Damian akan membunuh Linda. Tapi penampakan Alex sebagai monster yang bisu begitu menakutkan Linda. Maka Alex, sang monster, kembali ke rawa, sendirian, entah bagaimana nasibnya kemudian.

Pada kali kedua, juga pada 1972, Swamp Thing mendapat seri sendiri. Di sini, Len Wein mengabaikan kisah di atas, tapi meminjam beberapa elemen cerita itu. Dalam serinya, Swamp Thing adalah Alec Holland. Ia dan Linda, istrinya, adalah pasangan ilmuwan biogenetika (atau kimia?). Mereka tinggal dalam masa sezaman dengan para superhero DC yang lain saat itu. Dr. Arcane, seorang pengusaha dan pakar biogenetika yang bereksperimen dengan mutasi genetika pada manusia (dan menciptakan banyak monster) tertarik pada percobaan Alec dan Linda. Singkat cerita, Alec dan Linda dijebak dan dibunuh di laboratorium mereka. Ketika lab itu meledak, Linda mati dan tubuh terbakar Alec mencebur ke rawa. Tak lama, Alec muncul dari rawa sebagai monster, Swamp Thing.

Seri ini sempat lumayan populer. Swamp Thing sempat dipasangkan dengan Batman dan Superman, dan berbagai superhero DC lain. Tapi ini seri ini “terbenam dalam rawa”, sampai Alan Moore melakukan revisi mengejutkan. Ia melakukan pendekatan story line (alur cerita) atau mini seri –hingga jadi salah satu bibit pendekatan novel-grafis dalam komik superhero. Alur cerita pertama dari Moore adalah Anatomy Lesson, ketika Swamp Thing terbunuh oleh negara dan diotopsi. Di meja otopsi, dibedahlah anatomi Swamp Thing –sekaligus dengan itu, dibedah pula mitologi Swamp Thing.

Namun ketika tersadar, Swamp Thing pun sadar akan sesuatu yang lain: bahwa ia sebenarnya bukan Alec Holland. Selama ini ia adalah monster tumbuhan yang merasa dirinya adalah Alec. False memory, kenangan keliru. Sekumpulan kenangan hidup Alec Holland terserap dalam kesadaran sang monster. Monster itu sendiri tak tahu siapa dirinya sesungguhnya.

Maka dimulailah sebuah pencarian jatidiri yang sangat menarik. Dalam pencarian jatidiri pertama ini, Swamp Thing akhirnya menemukan bahwa ia sesungguhnya adalah saripati bumi –earth elementals. Ia punya kekuatan nyaris bak sihir, walau tak tepat benar sihir melainkan sesuatu yang nyaris spiritual. Yang jelas, kekuatannya adalah sesuatu yang melampaui sains.

Dalam pencarian ini, ia kemudian bertemu dengan Abby, keponakan Arcane yang menikah dengan Mathew Cable. Segitiga Abby, Arcane, dan Mathew Cable ini kemudian menjadi trilogi maut dalam alur cerita berikut yang terkenal, The Arcane Trilogy. Garis cerita ini terkumpul dengan beberapa cerita lain dalam TPB The Saga of Swamp Thing: Love and Death. Alur The Arcane Trilogy sendiri jadi tonggak di pasaran: dalam alur inilah, mendadak seri Swamp Thing dibicarakan di mana-mana di Amerika.

Pertama-tama, seri ini betul-betul kembali ke akar sejati horor –memberi rasa takut yang asli ke pembacanya.[4] Dalam episode Love and Death, prolog trilogi Arcane, Abby terguncang karena menemukan suaminya, Mathew Cable, tak lebih dari jasad yang dipinjam oleh arwah pamannya, Arcane. Dr. Arcane telah meninggal, dibunuh Swamp Thing. Memang, beberapa bulan terakhir Mathew kelihatan aneh: lebih bersemangat dan tidak klemar-klemer. Ia mendapat kerja di sebuah kantor di tepi rawa.

Tapi Abby tak bisa mengusir perasaan aneh terhadap teman-teman baru Mathew. Sampai ia menemukan di perpustakaan bahwa Sally Park, salah seorang teman kerja Mathew, adalah pembunuh lima belas orang dengan berbagai senjata (pistol, pisau surat, gantungan baju) tanpa alasan jelas …sebelum ia sendiri ditembak mati oleh polisi.

Dan Abby menyadari, suaminya adalah mayat hidup juga. Ia shock, teringat berapa kali ia bercinta dengan mayat hidup itu. Dan saat ia hendak kabur, Mathew dan teman-teman kantornya –semuanya adalah para pembunuh massal atau pembunuh serial paling kejam, yang telah mati– menghadang Abby. Mathew/Arcane pun menangkap Abby yang melolong kehilangan harapan.

Dan dimulailah trilogi yang terkenal itu. Bagian pertama trilogi itu, The Halo of Files, menceritakan bagaimana arwah Arcane mendaki ke permukaan bumi dari kerak neraka, dan mengincar tubuh Mathew. Suatu malam, Mathew kecelakaan, dan saat sekarat ia mengiyakan perjanjian dengan “setan” Arcane untuk memberikan tubuhnya agar tak mati. Arcane mengungkap bahwa sebetulnya Mathew memiliki kekuatan supernatural, tapi disia-siakan untuk sekadar mewujudkan fantasi banalnya. Setelah puas bercerita, Arcane menenggelamkan jiwa Abby yang murni ke dalam neraka, disiksa di sana selama-lamanya. Swamp Thing datang terlambat. Ia hanya menemukan jasad katatonik Abby, dan Arcane yang sepenuhnya menguasai jasad Mathew dan menyeru seluruh jiwa terkutuk di Amerika untuk datang ke rawa di Louisiana. Spiral kejahatan memancar dari rawa, dari rumah Mathew/Arcane.

Bagian kedua, The Brimstone Ballet, rencana apokaliptik Arcane semakin mewujud. Swamp Thing membawa jasad Abby, hatinya tercabik karena jiwa Abby yang murni harus disiksa di neraka. Ketika Arcane meleceh Swamp Thing, Swamp Thing mengamuk. Di luar dugaan Arcane, Swamp Thing bukanlah Alec seperti yang dulu ia temui –Swamp Thing adalah sesuatu berkekuatan supernatural amat besar, sehingga ia mampu mengalahkan jiwa Arcane tanpa kesulitan. Ketika jiwa Arcane kembali ke neraka itulah, Mathew sadar, sekarat tapi sadar, dan meminta ampunan Swamp Thing atas segala dosanya. Ia mencoba menolong Abby, tapi ia gagal. Ia sendiri mati.

Bagian ketiga, Down Amongst The Dead Men, jadi puncak cerita. Swamp Thing menyadari bahwa ia bisa menolong Abby. Yang harus ia lakukan hanyalah membiarkan jiwanya pergi menuju neraka, dan menjemput Abby. Di sinilah kisah horor ini menjadi alegori yang mengacu sastra klasik Inferno karya Dante. Moore memanfaatkan stok para pahlawan supernatural dari gudang DC: Deadman, Phantom Stranger, Spectre, The Demon. Pemunculan mereka, dalam polesan Moore, sekaligus merevitalisasi karakter-karakter tersebut. Singkat cerita, di kerak neraka, ia menjumpai Abby (setelah bertemu dengan Sunderland, anak buah Arcane, dan Arcane sendiri) dan membawanya pergi dari cengkeraman setan-setan neraka.

Trilogi dan prolognya itu telah jadi klasik dalam khasanah komik Amerika. Love and Death-lah yang pertama kali terbit secara reguler tanpa stempel CCA. Ceritanya yang masuk kategori horor buat orang dewasa (dalam arti mengandung pemikiran-pemikiran dewasa, termasuk filsafat dan sastra) menjadi blue print lini Vertigo di kemudian hari. Editornya, Karen Berger, adalah calon editor lini Vertigo di masa depan –keputusannya (atas arahan Len Wein) untuk membebaskan Moore dan para penggambarnya untuk berkreasi juga akan menjadi ciri kebijakan redaksionalnya di kemudian hari.

Panel sureal dari halaman 15-16 Swamp Thing no. 34.

Panel sureal dari halaman 15-16 Swamp Thing no. 34.

Sepanjang masa kerjanya di seri ini, Moore juga menulis beberapa cerita mainstream untuk DC: untuk seri Green Lantern, Vigillante, Superman (For The Man of Tomorow dan Whatever Happened To The Man of Tomorrow –oleh sebagian pengamat dianggap kisah Superman klasik terbaik sepanjang masa), dan Batman (The Killing Joke). Ia juga melahirkan sebuah karya yang akan jadi tonggak novel grafis, salah satu komik terbaik sepanjang masa, Watchmen.

Namun setelah menyelesaikan lanjutan V for Vandetta yang lima tahun sebelumnya terhenti tapi oleh DC diambil untuk dituntaskan, Moore berselisih dengan DC. Ia berhenti. Ketika Vertigo meluncur, dan seri Swamp Thing dihidupkan kembali dalam lini ini, ia sama sekali tak ikut serta. Tapi ia telah membuka pintu bagi banyak penulis Inggris, khususnya para alumni tabloid komik mingguan 2000 AD, untuk menyerbu komik Amerika lewat lini Vertigo/DC. Termasuk “muridnya”, Neil Gaiman, dan Grant Morrison.

Neil Gaiman

TheSandman

Tentu saja kita mengenalnya lewat seri Sandman. Atau, sebagai novelis yang menghasilkan karya-karya seperti Anansi Boy dan Stardust (yang telah difilmkan). Atau, bagi para penggemar penyanyi Tori Amos, akan kenal Neil yang sering disebut-sebut dalam syair-syair lagu Amos.

Seri Sandman di DC Comics boleh lah disebut “ayah” lini Vertigo. Setelah belajar dari Alan Moore dalam penulisan komik dan mewarisi seri Miracle Man, Gaiman mulai membangun reputasi sebagai suara unik dalam komik di Inggris. Karya-karyanya dengan Dave McKean –yakni: Signal To Noise, Mr. Punch, dan Violent Cases– membuat penerbit DC tertarik.

“Pesanan” pertama DC pada Gaiman, dan McKean, adalah miniseri Black Orchid (1988). Saat ia mengerjakan beberapa “pesanan” DC itu, ia berpikir-pikir untuk mengangkat kembali tokoh Sandman –salah satu karakter superhero generasi awal di DC, bahkan Amerika– dan disesuaikan dengan semangat zaman kini. Tapi, Gaiman masih ragu, sampai seorang editor muda DC, Karen Berger, yang beberapa kali bekerjasama dengan Gaiman, menawari Gaiman untuk memegang seri Sandman.

Berger sendiri bilang pada Gaiman, bahwa karakter itu diserahkan pada Gaiman untuk di-“tekuk-tekuk” semau dia. Gaiman tentu saja menyambutnya, dan menyerahkan sebuah proposal seri. Usulan seri itu mengubah sama sekali karakter bernama Sandman itu, sehingga praktis Gainman mengajukan sebuah karakter baru. Karena itu pula, karakter ini diajukan sebagai sebuah karakter yang dimiliki oleh penciptanya, dan bukan oleh korporasi sepenuhnya, seperti telah dipraktikkan DC dan banyak penerbit komik Amerika sejak 1939.

Salah satu dampak penting dari sifat kepemilikan karakter demikian adalah Gaiman bisa melarang penggunaan karakternya untuk digunakan dalam seri lain, seri superhero, di DC Comics tanpa seizin Gaiman. Misalnya, sampai sekarang, Gaiman tak mengizinkan Sandman rekaannya untuk ikut serta dalam cerita-cerita Superman atau JLA (Justice League of America). Seri Sandman tumbuh tersendiri, menyempal dari jagat cerita DC yang kita kenal.

Soal crossover (lintas-seri) ini, sebetulnya pada episoda-episoda awal Sandman, Gaiman tampaknya masih membayangkan tokoh rekaannya sejagat dengan Superman dan lain-lain, walau Superman sendiri tak muncul dalam cerita itu. (Batman sempat muncul dalam satu panel di The Sandman no. 2.)

Sandman rekaan Gaiman adalah Morpheus, seorang raja alam mimpi. Panggilannya, Dream. Ia satu dari tujuh bersaudara dewata, The Endless: Death (penguasa alam kematian), Desire (penguasa alam hasrat-hawa nafsu), Despair (penguasa alam keputusasaan), Delirium (penguasa alam teler atau kemabukan), Destruction (penguasa alam kehancuran), dan Destiny (penguasa alam takdir).

Pada awal abad ke-20, seorang penyihir di Inggris, “Magus” Roderick Burgess, menjerat Morpheus dan menyekapnya selama 70 tahun. Setelah Roderick mati, anak angkatnya, Alex Burgess, mewarisi sang tawanan. Dengan disekapnya Morpheus, yang sebetulnya adalah wujud manusia dari alam mimpi itu sendiri, maka alam mimpi mengalami kerusakan parah dan mungkin tak dapat diperbaiki lagi.

Dampaknya, tentu saja, ke alam hidup manusia: ada manusia yang terjebak di alam antara jaga dan mimpi, ada seorang gadis yang tak bisa bangun selama 70 tahun (dan selama itu mengalami perkosaan dan melahirkan), dan ada juga yang terilhami untuk membasmi kejahatan –itulah, menurut cerita Gaiman, The Sandman a.k.a. Wesley Dodds, yang dalam sejarah komik Amerika muncul pada 1940-an, dalam setting New York era Jazz (1930-an).

Ketika akhirnya Morpheus dapat melarikan diri, dan harus mengejar tiga jimatnya yang dilucuti Roderick dan dicuri anak buahnya, ia menunjukkan wataknya yang telengas sebagai dewata, dan membalas dendam secara mengerikan pada Alex Roderick (mengutuk Alex untuk selamanya terjaga dalam alam mimpi buruk!). Dream/Morpheus harus mencari ketiga jimatnya, dan dalam pencarian itulah ia melihat Batman, Green Lantern, berjumpa dengan The Martian Manhunter, Jonn Jonn’z (anggota JLA dari Planet Mars, yang menganggap Dream adalah dewa mimpinya juga).

Dalam pengumpulan kembali jimatnya itu pula, Dream berjumpa tokoh rekaan Alan Moore dalam seri Swamp Thing, John Constantine –yang akan dibuatkan seri oleh DC, Hell Blazer. Selama beberapa nomor, yang kemudian terkumpul dalam Preludes and Nocturnes, Dream bertualang sendirian, mencoba membangun kembali kerajaannya yang terbengkalai. Lini cerita awal ini memberi fondasi bagi pengembangan cerita jagat Dream hingga no. 75 –dengan berbagai spin off (kembangannya).

Pertama kalinya karakter Death muncul, yang menjadi salah satu karakter paling popular dari dunia Sandman.

Pertama kalinya karakter Death muncul, yang menjadi salah satu karakter paling popular dari dunia Sandman.

Salah satu aspek penting dari model kepemilikan karakter seri The Sandman ini adalah sang pencipta, Gaiman, bisa merancang waktu hidup komiknya. Dengan dirancang begitu, maka Gaiman seolah sedang mencipta sebuah novel yang sangat panjang tentang The Dream dan dunianya. Sebagai novel yang jelas kapan batas akhir kisahnya, The Sandman bisa dibaca sebagai sebuah novel yang selesai pada saat harus selesai. Sebuah roman. Bukan sekadar sebuah seri seperti lazimnya properti karakter dan seri DC Comics lainnya.

Kita juga harus ingat, konteks penerbitan The Sandman sebagai komik arusutama Amerika. Sejak 1940-an, dengan sukses penjualan Superman dan Batman, komik arusutama Amerika mengambil bentuk seperti majalah/pamflet, yang terbit bulanan atau mingguan. Jumlah halamannya, dalam perkembangannya, terstandarkan menjadi 32 halaman –biasanya, 22-24 halaman cerita dan selebihnya iklan atau surat pembaca. Tentu, kadang, masih ada “edisi istimewa” atau “edisi khusus” dengan jumlah halaman 48, 64, 96, atau 100 halaman.

Dengan standarisasi halaman cerita komik Amerika tersebut, jelaslah terstandarkan juga struktur penceritaan komik-komik arusutama Amerika. Selama beberapa dekade, kecenderungan utama penceritaan komik arusutama Amerika, lazimnya bergenre superhero dan petualangan, adalah cerita-cerita pendek. Ketika pada 1980-an mereka mulai gandrung menutur cerita-cerita panjang, itu pun distrukturkan berdasarkan pengisahan cerita pendek. Sehingga seolah setiap edisi bulanan itu menjadi bab penceritaan. Tapi, penceritaannya memaksa bab-bab itu sesuai standar komik arusutama Amerika (22-24 halaman).

Ketika potensi kekisahan panjang dan seperti novel itu belum disadari atau dipraktikkan secara luas, kisah-kisah superhero dalam komik Amerika menjadi sesuatu yang tak berusia, tak berjangka waktu, sering juga tak berkronologi (berwaktu-runut). Sampai pada Desember 1977, Dave Sims menerbitkan secara independen karya, Cerebus. Sims merancang agar seri ini berhenti pada nomor 300, ketika sang tokoh, Cerebus si Advaark, mati.

Gaiman merancang seri The Sandman itu menjadi 75 nomor sebagai rangkaian kisah utama yang terdiri dari beberapa kisah besar dan beberapa kisah pendek. Seluruh kisah itu membentuk sebuah dunia cerita yang utuh, tuntas, hingga sampai pada akhir hayat Morpheus sebagai Dream.

Pada kisah-kisah awal, The Sandman-nya Gaiman berpakem fantasi-horor dengan tekanan pada kisah horor yang sangat kental. Tapi, sejak awal, seri ini juga jadi wahana Gaiman untuk mengolah berbagai khasanah mitologi dunia (dari Yunani Kuno, Cina, Mesir, dunia Islam, dan berbagai varian mitologi itu), dengan segala filsafat yang mendasari mitos-mitos itu. Itulah kenapa seri ini ditabal sebagai komik “untuk pembaca dewasa”. Sebagai “komik dewasa”, nyaris tak ada pengekangan dalam hal tema, dialog, maupun penggambaran adegan –termasuk soal seks dan kekerasan.

Selain The Sandman, Gaiman juga mencipta beberapa kisah lain untuk Vertigo/DC. Di samping ketiga karya novel grafis awalnya dengan McKean diterbitkan ulang oleh Vertigo/DC, Gaiman juga menulis, antara lain, miniseri empat nomor (kemudian disatukan sebagai sebuah novel grafis empat bab), The Books of Magic. Ketika lini Vertigo diluncurkan, kisah ini dikembangkan oleh beberapa penulis lain menjadi sebuah seri yang cukup panjang usia.

Namun, adalah The Sandman yang seolah menjadi identitas pertama dan utama Vertigo/DC. Karakter-karakter dasar seri The Sandman seperti cerita bersifat fantasi-horor, mengandung filsafat, buat orang dewasa, pendekatan visual yang condong pada seni rupa, seolah jadi template karakter Vertigo/DC di kemudian hari.     

Grant Morrison

The Doom Patrol no. 191, debut Grant Morrison sebagai penulis seri ini.

The Doom Patrol no. 191, debut Grant Morrison sebagai penulis seri ini.

Sebagai penulis komik, Morrison adalah makhluk ganjil. Ia menghasilkan banyak cerita superhero yang bukan hanya fantastik, tapi juga “ajaib” dalam pengertian “aneh”, “idiosinkretik”, “nyeleneh”…. Karya-karyanya yang kemudian jadi cikal beberapa seri di Vertigo/DC, termasuk karya-karya lepasnya yang ia cipta khusus untuk Vertigo/DC, memiliki ciri khas sebuah alam mabuk, delirium, atau –kalau Anda suka– sangat “posmodernis”.

Dua karyanya yang dianggap tonggak si “paman mabuk” Vertigo/DC adalah cerita-cerita yang ia buat untuk seri Doom Patrol dan Animal Man. Seperti Alan Moore dalam Swamp Thing, pada saat lini Vertigo/DC diluncurkan, Morrison sudah tak lagi memegang kedua seri itu. Maka, kedua seri itu berlanjut dalam naungan Vertigo/DC tanpa Morrison. Bedanya dengan Moore, Morrison tidak ngambek pada penerbit DC dan masih menghasilkan sebuah seri yang “Vertigo banget”, yakni seri The Invisibles.

Seri Doom Patrol dan Animal Man diberikan DC kepada Morrison sebagai “lahan coba-coba”. Keduanya adalah seri yang sudah nyaris mati. Adalah kelaziman bagi penerbit seperti DC atau Marvel, untuk mengujicobakan seorang penulis atau seniman gambar baru dalam sebuah seri yang hampir mati atau sudah lama mati. Jika proyek itu berhasil, penerbit untung. Jika tidak, penerbit tak terlalu rugi.

Di tangan Morrison, kedua seri itu mencapai puncak baru bukan hanya sebagai seri seperti sebelumnya, tapi juga puncak baru dalam sejarah komik modern itu sendiri. Doom Patrol dihidupkan kembali oleh Morrison dengan pendekatan science fiction yang surealistik (bagaimana hal ini mungkin, mungkin hanya Morrison yang bisa melakukannya di komik!). Sementara Animal Man dibangkitkan Morrison dengan pendekatan metafiksi yang mempertanyakan realitas komik dan realitas pembaca (lagi: bagaimana itu mungkin –dan apakah ungkapan barusan betul-betul punya makna? Karena ini wilayah kreatif Morrison, kita lihat nanti bagaimana pensifatan barusan itu mungkin!).

Doom Patrol pertama kali terbit pada 1963, dicipta oleh Arnold Drake (penulis), Bob Haney (penulis), dan Bruno Premiani (penggambar). Sedari awal, konsepnya adalah kelompok misfit –orang-orang sempalan, salah tempat, para superhero yang terasing dari masyarakat justru gara-gara kekuatan mereka. Persis X-Men, sebetulnya. (Arnold Drake malah yakin betul bahwa Stan Lee mencuri konsep X-Men darinya. Tapi, sebaliknya, banyak pengamat yang menganggap Doom Patrol mengambil konsep Fantastic Four.)

Pada 1989, dalam Doom Patrol no. 19 (Volume 2), Morrison memulai ceritanya dengan kisah empat nomor/bab berjudul Crawling From The Wreckage, dibuka dengan sebuah gambaran menohok tentang Robotman –yakni Cliff Steele yang karena kecelakaan lantas otaknya dipindahkan ke tubuh robot. Bahan cerita yang mokal ini digubah Morrison menjadi sebuah meditasi tentang apa yang “senyatanya” dialami, dirasakan, oleh para superhero.

Cliff terjaga dari mimpi buruk berulangnya, di sebuah rumah sakit jiwa. Jiwanya tertekan karena ia seperti seorang yang baru diamputasi dan masih merasakan bagian tubuhnya yang telah dipotong masih jadi bagian dirinya. Dalam kasus Cliff/Robotman, ia kehilangan seluruh tubuhnya dan masih merasakan tubuhnya yang hilang itu bagian dari dirinya. Pembukaan yang seolah “hanya” menyegarkan pakem superhero ini perlahan berkembang semakin ganjil terutama dengan hadirnya satu per satu tokoh-tokoh lain.

Rekanan Cliff kemudian, dalam Doom Patrol formasi baru, adalah: Dorothy Spinner, seorang gadis berwajah kera yang punya “teman imajiner” sangat kuat; Crazy Jane yang punya puluhan kepribadian, dan masing-masing memiliki kekuatan khas; dan, nantinya, ada Danny The Street, yakni sebuah jalan yang punya kesadaran dan memiliki beberapa kekuatan super. (Nah, Anda sudah mulai dapat gambaran seperti apa teritori Morrison –sebuah jalan yang punya jiwa, sebagai superhero?!)

Galeri penjahat super rekaan Morrison untuk seri ini juga sangat fantastik. Ada Scissor Men, yakni sekelompok makhluk fiktif yang menyerang makhluk non-fiktif dengan menggunting mereka dari realitas. Red Jack, sejenis makhluk yang nyaris omnipoten (maha kuasa), yang mengaku gabungan dari Tuhan dan Jack The Ripper. Ada The Brotherhood of Dada, grup anarkis yang memerangi realitas dan nalar.

Morrison menulis kisah-kisah Doom Patrol hingga nomor 63, persis sebelum seri ini masuk ke lini Vertigo/DC. Seri ini kemudian dilanjutkan oleh Rachel Pollack, yang berhasil mempertahankan keanehan seri ini.

Di samping Doom Patrol, Morrison juga membangkitkan kembali tokoh superhero lama yang teronggok di “gudang” DC, Animal Man. Di tangan Morrison, seri ini menjadi salah satu kisah superhero terbaik sepanjang masa menurut banyak kritikus. Dalam seri ini, lagi-lagi, Morrison memasalahkan realitas dan fiksi. Dengan pendekatan science fiction dan fictional science (misalnya, sains para alien) plus mistisisme pada beberapa bagian, Morrison pelan-pelan membawa pembaca pada beberapa adegan yang tak terbayangkan: pertemuan realitas komik dengan realitas pembaca komik!

Animal Man 19

Bahkan, pada akhir kisahnya, Grant Morrison sendiri muncul dalam komik ini, menegaskan kesadaran posmodernisme yang akut dalam seluruh kisah karya Morrison ini. Tapi, sepanjang 26 nomor karya Morrison, Animal Man juga adalah sekumpulan kisah yang tajam tentang isu-isu lingkungan hidup, hak asasi para binatang, disfungsi keluarga, kekerasan, dan hal-hal “dewasa” lainnya. Kombinasi tema dewasa dan penuturan yang segar bagi komik Amerika membuat karakter pinggiran ini menjadi salah satu judul terlaris DC pada waktu terbit.

Seusai Morrison (dan sekian banyak edisi lagi), mulai nomor 57, Animal Man dilanjutkan sebagai salah satu seri awal Vertigo/DC oleh penulis lain. Tapi, garis besar sifat seri ini masih setia, yakni mengangkat isu-isu dewasa tadi.

Walau Doom Patrol dan Animal Man yang ditulis Grant Morrison (seperti juga seri Swamp Thing yang ditulis Alan Moore) terbit dalam bendera DC Comics, tapi edisi TPB (Trade Paper Back –semacam edisi “bundel”) kedua seri ini diterbitkan di bawah bendera Vertigo.

…BERSAMBUNG


[1] Ada alasan lain yang lebih tersembunyi. Jika dilihat dari tiga judul yang menjadi pangkal kelahiran Vertigo (Saga of Swamp Thing, Sandman, dan Doom Patrol), semuanya merupakan daur ulang tokoh superhero lama milik DC. Kemungkinan, dari segi bisnis, proyek Vertigo bisa diterima oleh pihak manajemen DC karena merupakan (satu lagi) proyek percobaan untuk membuat lahan daur ulang properti lawas DC yang sudah tak laku lagi. Dengan pendekatan revisionis, properti itu ditembakkan ke pasar baru (kebanyakan, sebetulnya, pembaca lama yang telah beranjak dewasa dan meninggalkan komik). Ini tentu mengharuskan pihak editor berhati-hati dalam memilih pengarang yang akan dimunculkan dalam Vertigo. Di samping itu, para komikus independen yang menjaga “kemurnian” kreatif mereka, biasanya ogah menerima proyek membuat cerita dengan tokoh milik sebuah perusahaan mapan.

[2] Wizard (?)

[3] Angka rata-rata penjualan buku sehingga bisa disebut mainstream di Amerika adalah di atas 100.000 eksemplar. Pada 1980-an, komik telah terpuruk ke area non-mainstream karena penjualan rata-ratanya di bawah 30.000 eksemplar. Ini karena (1) sistem distribusi yang menyempit, hanya di jaringan toko-toko khusus komik; dan (2) minat umum terhadap komik itu sendiri, di Amerika, memang menurun.

[4] Neil Gaiman, dalam pengantar cetakan pertama TPB Swamp Thing: Love and Death, mengaku, “ Aku masih ingat perasaan guncang saat aku membaca Love and Death –episode pertama dari rangkaian cerita trilogi Arcane. Inilah komik horor pertama yang betul-betul menakutiku; aku jadi kecanduan, menemukan dengan takjub betapa komik punya kemampuan sama dengan prosa dan film terbaik, yakni kemampuan untuk mengganggu dan menggoyahkan penikmatnya.”

Written by hikmatdarmawan

July 2, 2013 at 12:33 am

5 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Ihiw…akhirnya ditulis juga. Ditunggu sambungannya. Dan yg lebih ditunggu lagi kopiannya. Soalnya baru baca dikit. Banget.

    sukajus

    July 2, 2013 at 1:11 am

  2. Cara singkat baca sejarah Vertigo….. dan lebih spesifik lagi, sejarah hadirnya novel grafis di ranah mainstream Amrik.

    Surjorimba Suroto

    July 2, 2013 at 8:16 am

  3. makasih tulisannya mas hikmat.. bagus banget walau belum bnyk yg tau smuanya dr komik2 tsb,.. 🙂

    feripradigdo

    July 2, 2013 at 10:13 am

  4. minta izin untuk share di web nya DBKomik ya, mas….akan kami cantumkan sumber nya dari blog ini…

    Benjamin Simatupang

    July 2, 2013 at 6:41 pm


Leave a reply to feripradigdo Cancel reply